Pihak Sri Mulyani Juga Ikutan Khawatir Soal Wacana Kemasan Rokok Polos

Selasa, 24 September 2024 | 11:04 WIB
Pihak Sri Mulyani Juga Ikutan Khawatir Soal Wacana Kemasan Rokok Polos
Pedagang menunjukkan cukai rokok yang di jual di Jakarta, Sabtu (5/11/2022). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani menilai kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek berpotensi menyulitkan aktivitas pengawasan.

“Kalau rokok jadi polos, pandangan kami, ada risiko dari pengawasan karena tak bisa membedakan jenis rokok,” kata Askolani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2024 dikutip Antara, Selasa (24/9/2024).

Dia menjelaskan kemasan rokok menjadi basis Pemerintah dalam melakukan pengawasan. “Risiko bisa jadi nyata kalau kemasan disamakan. Kita tak bisa kasat mata membedakan kemasan dan isinya, padahal proteksi awal kita melalui itu,” tambahnya.

Askolani memastikan Kemenkeu telah menyampaikan masukan tersebut kepada Kementerian Kesehatan.

Baca Juga: Harga Rokok Tahun Depan Tak Melonjak, Kenaikan Cukai Hasil Tembakau Belum Pasti

Diketahui, usulan tersebut termuat dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengestimasikan usulan kemasan rokok polos tanpa merek memberikan dampak ekonomi yang hilang sekitar Rp182,2 triliun.

Indef menilai kemasan polos akan mendorong downtrading (fenomena ketika konsumen beralih ke produk rokok yang lebih murah) hingga switching ke rokok ilegal lebih cepat dari yang terjadi, dan berpotensi menurunkan permintaan produk legal sebesar 42,09 persen. Implikasi dari kebijakan kemasan polos ini diprediksi mengurangi penerimaan negara sekitar Rp95,6 triliun.

Sementara itu, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo berpendapat usulan soal kemasan rokok polos tanpa merek berpotensi diskriminatif karena berdampak terhadap pedagang ritel dan petani tembakau.

Firman menyebut aspek diskriminatif yang disorot ialah adanya peraturan yang dinilai mengabaikan hak-hak hidup masyarakat luas. Kebijakan itu berpotensi mendiskriminasi berbagai kelompok masyarakat, termasuk pedagang ritel dan petani tembakau.

Baca Juga: Kemasan Rokok Polos Picu Polemik, Kemendag: Bisa Timbulkan Sengketa WTO

Menurut Firman, peraturan tersebut jelas akan berdampak pada kelompok masyarakat kecil seperti pedagang asongan, dan industri hasil tembakau yang telah berkontribusi besar pada pendapatan negara melalui cukai. Dampak tersebut terasa signifikan bagi tenaga kerja dan petani tembakau, yang selama ini menggantungkan hidup pada industri hasil tembakau.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI