Suara.com - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jebakan kelas menengah atau middle income trap biasanya muncul akibat kebijakan-kebijakan yang membuat perekonomian menjadi sulit.
"Middle income trap biasanya muncul dalam bentuk regulasi dan policy yang membuat rumit suatu perekonomian dan semakin membebankan kepada masyarakat," tutur Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (P2DD) di Hotel Kempinski, Jakarta Pusat, Senin, (23/9/2024).
Perlu diketahui, kebijakan disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka adalah dua lembaga yang berwenang membuat sebuah kebijakan.
Sri Mulyani menyebut, dalam hal regulasi Kemenkeu bersama-sama dengan DPR telah menghasilkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 yaitu tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (HKPD).
Baca Juga: Kantong Kelas Menengah RI Kian Tipis, Harga Tiket KRL Mau Naik?
"Ini adalah upaya cara peraturan perundang-undangan untuk melakukan harmonisasi belanja pusat dan belanja daerah atau bahkan kebijakan fiskal pusat dan daerah. Sehingga sinergi tersebut mampu menghasilkan dampak," imbuhnya.
Sebelum itu, Sri Mulyani menegaskan, pemerintah Indonesia menargetkan untuk mewujudkan perekonomian yang maju secara merata. Untuk mewujudkannya, transformasi digital dalam melayani masyarakat menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Dalam hal pengelolaan keuangan negara, digitalisasi data pemerintah menjadi hal yang sangat penting. Oleh karena itu, di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah terus mengalokasikan pembangunan infrastruktur digital dan peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
"Untuk bisa mencapai high income country, maka Indonesia harus bisa terhindar dari middle income trap," katanya.
Dampak Penurunan Kelas Menengah
Baca Juga: Jelang Pelantikan, Prabowo Dapat Laporan Khusus APBN dari Sri Mulyani, Apa Isinya?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk kelas menengah selama lima tahun terakhir turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 53,83 juta pada 2021. Selanjutnya, jumlah masyarakat kelas menengah juga tercatat kembali turun pada 2022 menjadi 49,51 juta, turun pada 2023 menjadi 48,27 juta dan pada 2024 turun menjadi 47,85 juta.
Bank Dunia mengklasifikasikan masyarakat ke dalam 5 kelompok kelas berdasarkan tingkat pendapatan: miskin, rentan miskin, menuju kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas. Kelas menengah adalah orang-orang dengan pengeluaran bulanan 3,5 hingga 17 kali lebih besar dari garis kemiskinan. Dengan acuan tersebut, kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran sebesar Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta per bulan.
Kelas menengah memiliki peran krusial bagi negara yakni menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Sebagai konsumen, kelas menengah mendorong permintaan barang dan jasa, yang berdampak pada peningkatan produksi dan penciptaan lapangan kerja.
Laporan Bank Dunia bertajuk ”Aspiring Indonesian-Expanding the Middle Class” mengungkap, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 12% karena konsumsi kelas menengah. Kelas menengah juga berkontribusi besar terhadap penerimaan negara, termasuk pajak, dengan sumbangsih sebesar 50,7%.
Melihat data-data tersebut, fenomena berkurangnya proporsi kelas menengah dalam sebuah negara tentu memberikan banyak dampak negatif. Dari sisi pertumbuhan ekonomi misalnya, masyarakat kelas menengah yang turun kasta akan menyebabkan rendahnya daya beli pada golongan tersebut. Konsumsi terhadap bahan pangan, pakaian, dan berbagai kebutuhan rumah tangga akan semakin lesu. Kondisi ini praktis membuat pertumbuhan ekonomi juga menjadi turun, karena konsumsi masyakarat menjadi salah satu pendorong tumbuhnya ekonomi.
Kemudian dari sektor perbankan, kredit macet dan menurunnya keuntungan perbankan menjadi hal yang tak dapat dihindari. Analoginya, ketika kelompok kelas menengah mengalami penurunan dan melakukan penyesuaian konsumsi, tentu permintaan golongan tersebut terhadap kredit konsumsi perbankan juga mengalami penurunan.
Bukan hanya secara ekonomi, menurunnya kelompok kelas menengah juga berdampak terhadap iklim sosial dan politik di negeri ini. Bukan tak mungkin proporsi kelas menengah yang terus tergerus akan menciptakan sebuah revolusi.