Suara.com - Sistem co-firing sebagai bahan bakar dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) disebut sebagai alternatif agar lebih ramah lingkungan. Jumlah PLTU di Indonesia dan pemiliknya pun menjadi sorotan ketika skema ini akan diterapkan secara menyeluruh. Sistem co-firing merupakan pencampuran antara batubara dan serbuk kayu sebagai pengganti batubara.
Jumlah PLTU di Indonesia saat ini ada sekitar 43. Di balik operasionalnya, ada sejumlah perusahaan swasta maupun perusahaan pelat merah. Pemilik PLTU memang didominasi oleh PT PLN (Persero). Namun, sebagian sahamnya juga ada yang dikuasai oleh perusahaan swasta.
Sebagai contoh seperti tertulis dalam antikorupsi.org, pemilik saham PLTU Suralaya 9 dan 10 adalah 51 persen PT Putra Indotenaga dan 49 persen PT Barito Wahana Lestari. Sebagian saham PT Putra Indotenaga dimiliki oleh PT Indonesia Power yang dinaungi oleh PLN. Kemudian, pada PLTU Tanjung Jati A, saham dipegang oleh PT Bakrie Power, perusahaan keluarga politikus Aburizal Bakrie. Sisanya dipegang oleh YTL Jawa Energy.
PLTU besar lainnya adalah PLTU Cilacap. PLTU ini dikelola oleh PT Sumber Energi Sakti Prima dan PT Pembangkit Jawa Bali. Saham PT PJB ini dimiliki oleh PT PLN.
Baca Juga: Terapkan Cofiring, PLTU Jeranjang Ciptakan Dampak Ganda Bagi Masyarakat Lombok
Indonesia Setop Gunakan PLTU Batu Bara
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, tidak akan ada lagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara pada tahun 2056. Sebagai pemenuhan komitmen Indonesia untuk mencapai nol emisi di 2060.
"Ini adalah skenario dimana kita tidak akan membangun PLTU baru menurut umur yang sudah ada sekarang dan sudah ada di pipeline. Berarti sebenarnya kita akan menuju nol emisi, menuju ke sana," kata Febrio dalam Side Event Presidensi G20 Indonesia di Jakarta, Kamis 17 Februari 2022.
Bahkan, jika diperlukan bisa lebih cepat dilakukan melalui mekanisme transisi energi. Sehingga tidak harus menunggu tahun 2056.
Ia menjelaskan mekanisme transisi energi yang kini sedang disiapkan akan menghubungkan antara pembangunan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan pengurangan penggunaan batu bara secara bertahap.
Baca Juga: PLTU Suralaya Bikin Polusi Udara, Luhut Tak Sabar Mau 'Suntik Mati'
Meski sembari membangun pembangkit listrik EBT, pasokan dan permintaan listrik akan dipastikan terus terjaga. "Jangan sampai Pembangkit Listrik Negara (PLN) dipaksa untuk membeli listrik dari pembangkit EBT tapi permintaan tidak naik, rugi PLN. Kalau rugi PLN, maka rugi APBN," tutur Febrio.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni