Suara.com - Pengusaha reklame dan baliho yang tergabung dalam Asosiasi Media Luar Griya Indonesia (AMLI) mengeluh dengan aturan rokok terbaru, khususnya larangan zonasi penjualan rokok. Sebab, aturan itu membuat rugi, karena pemesanan pasang reklame turun.
Ketua AMLI, Fabianus Bernadi mengatakan, kebijakan yang masuk dalam aturan PP 28/2024 maupun RPMK memiliki potensi besar untuk mempengaruhi keberlangsungan industri media luar griya dan industri kreatif secara umum.
Terkhusus, pelarangan zonasi iklan dalam PP 28/2024 yang telah menyebabkan penurunan pemasangan reklame hingga 5-10 persen.
"Aturan ini tidak hanya merugikan industri media luar griya tetapi juga berpotensi menurunkan pendapatan pajak reklame di daerah," ujar Fabianus seperti yang dikutip, Jumat (13/9/2024).
Dia secara tegas menolak wacana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang diatur pada RPMK, aturan turunan PP 28/2024. Padahal, tidak ada mandat untuk ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek pada PP 28/2024.
Menurutnya, kemasan rokok tanpa identitas tersebut akan mempermudah masuknya rokok ilegal ke pasar.
"Produsen rokok tidak mungkin akan memasang reklame di media luar griya tanpa mencantumkan identitas perusahaan atau merek, yang berdampak negatif pada efektivitas promosi mereka," jelas dia.
Salah satu kritik utama AMLI terhadap PP 28/2024 adalah pembatasan tayangan iklan produk tembakau melalui videotron. Fabianus menilai bahwa peraturan ini tidak aplikatif, karena iklan di videotron pada jam-jam tertentu di luar kota sudah dimatikan, sehingga aturan ini dianggap tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Pembatasan lain yang dinilai bias adalah larangan iklan dalam radius 500 meter di sekitar pusat pendidikan dan tempat bermain anak. Bagi dia, kebijakan tersebut terlalu kaku dan sulit diterapkan secara praktis.
Baca Juga: Gaduh! Usai Larangan Jualan Rokok di Media Sosial dan Kemasan Polos Tanpa Merek
Dalam survei yang dilakukan AMLI pada Desember 2023 dengan melibatkan 57 perusahaan di 37 kota, ditemukan bahwa 79% perusahaan merasakan dampak negatif dari peraturan ini. Pendapatan mereka diperkirakan akan menurun, dan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai 59%.