Suara.com - Pemerintah berencana menyeregamkan kemasan produk tembakau dan rokok elektronik, serta melarangan pencantuman logo maupun merek produk. Sehingga, kemasan produk rokok ke depannya akan polos.
Hal ini tercantum dalam rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Menanggapi hal tersebut, Ahli hukum dari Universitas Trisakti, Ali Rido menilai ada potensi pelanggaran hak kekayaan intelektual (HAKI) dalam kebijakan itu.
Menurut dia, ketentuan dalam PP dan RPMK tersebut tidak konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Baca Juga: Larangan Jual Rokok Dekat Sekolah Jadi Polemik, PP Kesehatan Dianggap Ancam Omzet Pedagang
"PP 28/2024 secara tidak secara langsung melanggar HAKI, dan tampaknya tidak relevan jika ditinjau dari perspektif konstitusi," ujar Rido dalam sebuah diskusi yang dikutip, Selasa (10/9/2024).
Dia menuturkan, terdapat ketidaksesuaian antara PP Kesehatan dan putusan MK, yang berpotensi melanggar ketentuan konstitusi. Pasalnya, jika dilihat dari aspek konstitusi, kebijakan ini tampaknya tidak mengikuti ketentuan hukum yang telah ada.
Dalam penyusunan aturan, ia melihat aspek keselarasan antara kebijakan yang diterapkan dan putusan MK secara utuh diperhatikan.
Rido juga menekankan bahwa kemasan polos dapat merugikan tidak hanya hak produsen tembakau namun juga hak konsumen. Sebab, Undang-Undang Perlindungan Konsumen mewajibkan produsen untuk memberikan informasi yang jelas mengenai produk mereka.
"Kemasan polos yang seragam dapat mengaburkan informasi penting tentang produk, sehingga melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas," imbuh dia.
Baca Juga: Dianggap Rugikan Pelaku Usaha, Aturan PP 28/2024 Disorot Karena Minim Partisipasi Publik
Rido menyebut, pelaku industri tembakau, yang telah memenuhi kewajiban mereka, harus mendapatkan hak mereka sesuai dengan konstitusi.
Selain itu, ia juga mengkritik kebijakan pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari institusi pendidikan. Ridho juga mencatat, aturan larangan zonasi penjualan maupun iklan produk tembakau dalam PP 28/2024 perlu diperjelas, mengingat definisi dan penerapannya yang masih kabur.
"Pelarangan ini tidak dapat diterapkan secara retroaktif ataupun berlaku surut terhadap penjual atau pedagang yang telah berdiri sebelum adanya institusi pendidikan atau tempat bermain anak. Ini dapat menyebabkan ketidakadilan," pungkas dia.