Suara.com - Kepala Badan Kebijkaan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan inflasi pada Agustus 2024 tercatat 2,12% (yoy), bergerak stabil didorong oleh penurunan sebagian besar harga pangan.
Menurut Febrio terkendalinya harga pangan diharapkan menjadi sinyal positif bahwa harga pangan semakin terjangkau bagi masyarakat.
"Meskipun demikian, Pemerintah tetap mewaspadai potensi risiko musim kemarau yang dapat berdampak pada produksi beras dan hortikultura," ujar Febrio dalam keterangannya di Jakarta pada Rabu (4/9/2024).
Untuk itu koordinasi TPIP-TPID terus dilanjutkan untuk menjaga stabilitas harga serta mengantisipasi potensi kebencanaan dan cuaca ekstrem.
Baca Juga: Diingatkan Daya Beli Turun, Pemerintah Bilang Harga Pangan Stabil dan Terjangkau
"Selain itu, komunikasi efektif terus dilakukan untuk mendukung terjaganya ekspektasi inflasi,” ujar Febrio.
Menurut komponen, inflasi inti mengalami kenaikan menjadi sebesar 2,02% (yoy). Peningkatan ini didukung kenaikan inflasi pada kelompok pakaian dan alas kaki, perumahan, rekreasi, dan perawatan pribadi (termasuk emas). Inflasi harga diatur pemerintah (administered price) tercatat mengalami kenaikan, yaitu menjadi sebesar 1,68% (yoy) didorong oleh kenaikan harga BBM nonsubsidi dan rokok.
Sementara itu, inflasi harga bergejolak (volatile food) melanjutkan tren penurunan, tercatat 3,04% (yoy). Penurunan harga pangan terutama didorong oleh pasokan yang melimpah seiring dengan masa panen serta turunnya biaya produksi seperti pakan jagung. Beberapa komoditas yang tercatat mengalami penurunan harga, di antaranya bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayam ras.
Sementara itu, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 tercatat pada level 48,9. Hal ini tidak terlepas dari menurunnya kinerja sektor manufaktur global di tengah tekanan permintaan. Pelemahan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, Kawasan Eropa, dan Amerika harus semakin diantisipasi ke depannya.
Aktivitas manufaktur negara mitra dagang dan kawasan ASEAN juga mengalami tantangan yang sama, antara lain Amerika Serikat (48,0) dan Jepang (49,8). Negara tetangga seperti Malaysia dan Australia juga kembali mencatatkan PMI manufaktur yang terkontraksi masing-masing pada level 49,7 dan 48,5.
Baca Juga: Biaya Sekolah dan Harga BBM di RI Mahal!
Di tengah perlambatan PMI Indonesia, optimisme masih terjaga dengan kinerja sejumlah leading industry di tanah air. Industri makanan dan minuman serta kimia farmasi hingga triwulan II lalu konsisten tumbuh di atas 5% yoy. Bahkan, industri logam dasar tumbuh hingga 18,1% seiring proses hilirisasi yang semakin menunjukkan hasil.
Kendati demikian, perhatian terus diberikan untuk lagging industry yang menghadapi tantangan berat. “Industri padat karya seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan Alas Kaki saat ini tengah menghadapi tantangan berat. Tidak hanya dari sisi kinerja ekspor, namun juga daya saing di pasar domestik yang tergerus produk impor. Pemerintah terus berupaya mendorong daya saing industri seperti ini dengan berbagai bauran kebijakan.” ujar Febrio.