Suara.com - Bahan baku di Asia Tenggara dapat memasok kira-kira 12% dari kebutuhan global bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel atau SAF) untuk memenuhi target emisi nol bersih pada 2050 di industri penerbangan komersial, demikian menurut laporan yang dikembangkan oleh Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB) dan didukung oleh Boeing (NYSE: BA).
Pengkajian atas bahan baku berkelanjutan ini, yang meliputi 11 negara di seluruh Asia Tenggara, menemukan bahwa kapasitas bahan baku berbasis hayati di wilayah ini bisa memproduksi sekitar 45,7 juta metrik ton SAF per tahun pada 2050. Di samping itu:
- Sekitar 75% potensi bahan baku SAF bisa bersumber dari dari limbah pascakonsumen dan limbah pertanian termasuk singkong, tebu, serta limbah padat perkotaan;
- Sekam padi dan jerami sejauh ini merupakan bahan baku SAF yang paling signifikan di wilayah ini jika dibandingkan dengan residu pertanian lainnya;
- Nilai total ketersediaan bahan baku di Indonesia, Thailand, Vietnam, Malaysia Filipina mencakup sekitar 90% dari kapasitas suplai SAF di wilayah tersebut.
“Penelitian ini menegaskan adanya ketersediaan bahan baku SAF yang beragam di Asia Tenggara serta besarnya potensi untuk membantu memenuhi kebutuhan global akan SAF,” kata Sharmine Tan, Kepala Divisi Keberlanjutan Regional Boeing untuk Asia Tenggara ditulis Rabu (4/9/2024).
“Dengan disertai pemerintah regional dan industri yang bekerja sama dalam hal kebijakan keberlanjutan dan investasi infrastuktur, upaya meningkatkan produksi lokal dan membangun kemampuan SAF regional akan menghadirkan kesempatan menarik bagi Asia Tenggara untuk membantu mewujudkan masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan sekaligus menjaga lingkungan dan menumbuhkan ekonomi.”
Baca Juga: Malaysia Terbitkan Aturan Refund Tiket Jika Penerbangan Delay 5 Jam
SAF yang tidak tercampur atau disebut juga “neat” SAF, yang seluruhnya bebas dari bahan bakar fosil, menawarkan potensi terbesar dalam mengurangi emisi karbon penerbangan selama 30 tahun ke dapan, karena neat SAF bisa menurunkan emisi sepanjang siklus hidup bahan bakar tersebut hingga 84%. Pada 2023, SAF hanya meliputi 0,2% saja dari penggunaan bahan bakar komersial global.
“Penelitian kami tidak hanya mempertimbangkan mengenai potensi volume bahan baku yang tersedia di Asia Tenggara, tetapi juga keberlanjutan lingkungan dan sosial dari segi dampak terhadap deforestasi, air, dan ketahanan pangan,” kata Arianna Baldo, Direktur Program RSB.
“Hasil penelitian ini bisa membantu memberikan panduan mengenai suplai bahan baku SAF di masa depan, termasuk eksplorasi terhadap material limbah pertanian dan industri lainnya.”
Boeing saat ini bekerja di tingkat lokal untuk menaikkan jumlah SAF secara global menggunakan roadmap wilayah maupun roadmap negara spesifik serta analisis bahan baku bersama mitra lokal dan pemerintah.
Upaya Boeing sudah menjangkau belasan negara di seluruh dunia termasuk Australia & Selandia Baru dan Jepang, serta ikut berkontribusi dalam program Pendampingan, Pembangunan Kapasitas, dan Pelatihan untuk Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (ACT-SAF) dari ICAO, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.
Baca Juga: Gaet Thai Airways, InJourney Bidik Umat Budha di ASEAN Bisa Kunjungi Candi Borobudur