Suara.com - Berbagai asosiasi industri dan pedagang menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Penolakan ini disuarakan atas kehadiran beleid yang dinilai akan sangat merugikan berbagai pihak.
Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman menilaiaturan ini seakan-akan menjadikan gula sebagai barang haram.
Padahal, gula merupakan kebutuhan penting bagi tubuh manusia, terutama selama masa pertumbuhan. Sehingga, konsumen perlu memiliki kesadaran untuk mengontrol asupannya.
Adhi menyatakan bahwa gula bisa diperoleh dari berbagai sumber, seperti makanan, nasi, buah-buahan, dan lainnya. Dia mencatat bahwa industri makanan dan minuman pun telah berupaya melakukan reformulasi dengan mengurangi kadar gula dalam produk mereka.
Baca Juga: PT JIEP Raih Skor 91,56 Dalam Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Namun, masalah muncul ketika konsumen justru menambah gula sendiri pada produk tersebut.
"Meskipun kami sudah mengurangi kadar gula dalam produk, pada akhirnya, konsumen menambahkan gula sendiri di rumah, terutama pada minuman tanpa gula yang kami jual," ujar Adhi seperti yang dikutip, Minggu (1/9/2024).
Adhi melanjutkan, fokus utama dalam menangani masalah ini adalah meningkatkan kesadaran konsumen tentang jumlah gula yang sebaiknya dikonsumsi dalam sehari.
"Hal yang terpenting adalah memberikan kesadaran ke konsumen mengenai jumlah gula yang baik untuk dikonsumsi dalam sehari," kata dia.
Penyesalan atas disahkannya PP 28/2024 pun disuarakan oleh Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI), Suhendro, yang secara khusus menolak pasal 434 di PP tersebut yang di antaranya mengatur larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Baca Juga: Industri Hasil Tembakau Harap-harap Cemas Imbas Target Penerimaan Cukai Naik
Menurut dia, aturan ini akan berdampak sangat besar bagi para pelaku usaha kecil.
"Ekonomi kerakyatan kita sangat terpukul, kita baru kena masalah pandemi, ditambah ekonomi sedang naik turun. Kami berharap sekali pemerintahan baru bisa mendengarkan suara kami dan PP ini bisa ditinjau ulang," ucap Sehendro.
Dia juga menyoroti bahwa tujuan utama dari peraturan ini, yakni mengurangi konsumsi rokok di kalangan anak di bawah umur, belum tentu dapat tercapai dengan efektif.
Justru yang menjadi persoalan baru, yakni akan adanya beban tambahan yang ditanggung oleh pedagang kecil. Sehingga, ia menilai aturan tersebut sedianya masih perlu dipertimbangkan secara lebih bijaksana.
Suhendro turut menyesalkan bahwa suara dan aspirasi pedagang pasar serta pengusaha kelontong tidak mendapatkan perhatian yang layak selama proses penyusunan PP 28/2024.
Pihaknya telah mengajukan permohonan agar larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dihapuskan dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan, namun permohonan tersebut tidak diakomodir.
"Dengan latar belakang tersebut, APARSI menegaskan komitmennya untuk menolak dengan tegas PP 28/2024 demi keberlangsungan usaha para anggotanya dan ekonomi kerakyatan pada umumnya," jelas dia.
Tanggapan Pemerintah
Menanggapi kontroversi dan perdebatan di masyarakat atas PP 28/2024, Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun menekankan pentingnya pendalaman lebih lanjut serta diskusi mendalam dengan berbagai pihak terkait penerapan PP ini.
Wapres mengungkapkan bahwa selain memerlukan aturan teknis, penting juga untuk melibatkan berbagai pihak dalam proses diskusi agar tidak terjadi benturan dalam pelaksanaannya.
"Penting untuk mendalami dan merundingkan hal ini dengan serius. Kami perlu mendengarkan berbagai pihak agar pelaksanaannya dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan konflik," imbuh Wapres.
Ma’ruf Amin turut menyoroti Pasal 103 pada PP 28/2024 yang mencakup upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja mengenai penyediaan alat kontrasepsi. Aturan ini juga telah menuai kontroversi di masyarakat.
Menurutnya, di Indonesia, yang memiliki budaya ketimuran dan nilai-nilai agama yang kuat, aspek keagamaan harus menjadi pertimbangan dalam penerapan aturan ini.
"Jangan sampai hanya fokus pada aspek kesehatan saja. Aspek keagamaan juga sangat penting untuk dipertimbangkan dalam sebuah kebijakan," pungkas dia.