“Seperti perusahaan yang mendapatkan konsesi negara, seharusnya memiliki fungsi layanan publik. Tetapi karena tidak didanai oleh APBN atau APBD maka dikecualikan oleh entitas badan publik yang harus terikat oleh UU KIP,” jelas Wicaksana.
Celah lainnya yang perlu diperbaiki dari UU KIP adalah ruang lingkup pemohon informasi yang terbatas, adanya Vexatious Request (permintaan yang menyusahkan), waktu penyediaan informasi yang lama, klasifikasi informasi yang kompleks, ketiadaan pengaturan operasionalisasi uji konsekuensi, dan penegakan keterbukaan informasi yang belum efektif dan efisien, karena kelembagaan KI yang belum optimal.
Arah pengaturan baru tentunya dibutuhkan untuk menjadikan UU KIP lebih relevan dan menekan kendala yang muncul. Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran lainnya, Giri Ahmad Taufik menyebut dibutuhkan perluasan pada ruang lingkup pemohon informasi dan badan publik, serta reklasifikasi informasi publik.
“Soal klasifikasi informasi publik, kami ingin menyederhanakan berdasarkan masukan. Jadi hanya dua kategori informasi, yaitu informasi publik yang wajib diumumkan dan yang wajib disediakan,” jelas Giri.
Perubahan UU KIP yang saat ini sedang dirumuskan dalam draf naskah akademik, membutuhkan aspirasi dari berbagai pihak termasuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang berfungsi sebagai pengelola dan penyampai dokumen yang dimiliki oleh Badan Publik. Kepala Bidang Informasi Publik, Dinas Kominfotik Provinsi DKI Jakarta, Raides Aryanto, turut menyampaikan bahwa perubahan pada draf naskah akademik perlu lebih diperjelas definisi dan batasannya.
“Ketika warga negara asing diperbolehkan mengakses informasi publik, apakah ada syarat khusus? Apakah ada batasan objek permohonannya? Ini perlu diperjelas,” ucap Raides.
Sejalan dengan itu, Kepala Bagian Manajemen Pengelolaan Data dan Layanan Informasi, Kementerian Keuangan, Titi Susanti, turut menyampaikan pentingnya menentukan batasan dan ruang lingkup ketika memperluas soal definisi badan publik dan pemohon.
“Ada istilah baru yaitu badan yang dipersamakan namun memang perlu diatur batasannya. Karena untuk layanan informasi bisa jadi nantinya organisasi sekecil apapun atau mungkin yang tidak berbadan hukum sekalipun, sepanjang berkaitan dengan kepentingan publik, juga dituntut untuk menjalankan kewajiban dari UU ini. Kita perlu pahami apakah malah akan membuat ribet atau memudahkan di masa depan,” tanggap Titi.
Baca Juga: Wapres Dorong Badan Usaha Transparan Soal Keterbukaan Informasi Publik