Suara.com - Keinginan untuk mengutamakan produksi beras dalam negeri namun tetap menargetkan impor hingga Desember 2024 dinilai hanya retorika semata.
Retorika tersebut dinilai lantaran saat ini mencuat kasus mark up impor beras dengan potensi kerugian negara hingga Rp 8,5 triliun.
Demikian hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menanggapi klaim Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Utama Bapanas Sarwo Edhy yang ingin mengutamakan penyerapan produksi dalam negeri untuk stok pangan nasional namun tetap berencana impor beras pada Juni hingga Desember 2024 dengan total 2,1 juta ton.
“Main-main aja gitu retorika hanya untuk menyenangkan para petani. Padahal yang dikasih petani itu bukan madu tapi racun dengan beras impornya,” kata Uchok, Sabtu,(20/7/2024).
Baca Juga: Skandal Mark Up Impor Beras Berpotensi Bebani Devisa Negara
Uchok pun heran lantaran Lembaga-lembaga terkait tetap ingin melakukan impor beras dari Juni hingga Desember 2024.
Uchok meyakini ketersedian stok beras di dalam negeri cukup tanpa harus melakukan impor.
“Ini sebetulnya beras kita cukup. Beras kita cukup untuk kita sendiri, tapi impor beras ini itu keliatanya mencari apa itu mark up,” sindir Uchok.
Uchok menyarankan agar Lembaga terkait berhenti melakukan impor beras lantaran dapat merugikan petani Indonesia.
Selain merugikan petani, kata Uchok, impor juga akan merugikan negara dengan adanya permainan mark up.
Baca Juga: Skandal Mark Up Impor Beras, Siapa Cari Aman Lewat Program Bansos?
“Seharusnya impor distop, karena impor ini bukan hanya akan merugikan negara dengan adanya dugaan mark up tapi juga sangat merugikan petani,” papar Uchok.
Uchok berharap, agar lembaga terkait dapat fokus melayani dan meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia melalui penyerapan hasil pangan di dalam negeri.
Uchok menegaskan hal tersebut menjadi tugas dan kewajiban lembaga negara.
“Harusnya dapat melayani dan meningkatkan kesejahteraan para petani kita sendiri,” tandas Uchok.