Sorotan mengenai penertiban OTA asing sebenarnya sudah disuarakan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Selama ini yang terjadi di lapangan adalah para hotel yang terpaksa harus 'menalangi' pungutan itu kepada negara.
Dan, hal ini tentunya menjadi beban tersendiri di tengah upaya pemulihan industri pariwisata.
"Mereka membebankan pajak ke kami, pihak hotel. Padahal, kalau OTA lokal, mereka yang bayar, bukan pihak kami. Ini tentu membebani kami," kata Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, dalam keterangan resmi, Rabu (17/7/2024).
Dia menuturkan, ketidakpatuhan OTA asing dalam mendirikan BUT selain mengakibatkan kerugian terhadap pelaku usaha hotel, konsumen, juga negara dirugikan, yakni kehilangan potensi pendapatan dari pajak komisi dan pajak pertambahan nilai (PPN).
"Jika mereka tidak memiliki BUT, negara akan dirugikan dari potensi pendapatan pajak. Ini termasuk pajak komisi dan PPN," ujar Alan, panggilan akrabnya.
Diketahui, potensi pajak dari transaksi OTA asing dapat mencapai 3,18 Triliun. Sementara potensi kerugian dari pembebanan pajak komisi mencapai 318,67 Miliar. Alan pun berharap pemerintah dapat segera mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan masalah ini.
"Kami sudah melaporkan kepada pemerintah untuk menuntut keadilan, namun hingga kini respons dari Ditjen Pajak belum ada," terang Alan.