Suara.com - Utang pemerintah Indonesia hingga per 31 Mei 2024 mencapai Rp 8.353,02 triliun. Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebt, jumlah ini mengalami kenaikan sebesar Rp 14,59 triliun dibandingkan akhir April 2024 yang sebesar Rp 8.338,43 triliun, dan meningkat Rp 565 triliun dari Mei 2023 yang tercatat Rp 7.787,51 triliun.
"Pada akhir Mei 2024, total utang pemerintah tercatat sebesar Rp 8.353,02 triliun," ujar Sri Mulyani dalam Buku APBN KiTa, Selasa (2/7).
Ia menambahkan, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Mei 2024 adalah 38,71 persen. Rasio ini masih berada di bawah batas aman 60 persen PDB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara.
Secara rinci, utang pemerintah yang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 7.347,50 triliun. Terdiri dari SBN domestik sebesar Rp 5.904,64 triliun dan SBN dalam valuta asing senilai Rp 1.442,85 triliun.
Baca Juga: Rugi Berkepanjangan Hingga Utang yang Menumpuk, 6 BUMN Siap Disuntik Mati Erick Thohir
Jumlah utang pemerintah dalam bentuk pinjaman mencapai Rp 1.005,52 triliun. Ini terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 36,42 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 969,10 triliun.
"Sebagian besar utang pemerintah berasal dari dalam negeri dengan persentase 71,12 persen," ungkapnya.
Hingga akhir Mei 2024, lembaga keuangan memegang sekitar 41,9 persen dari kepemilikan SBN domestik. Rinciannya adalah perbankan dengan 22,9 persen, serta perusahaan asuransi dan dana pensiun dengan 18,9 persen. Bank Indonesia memiliki sekitar 22,2 persen SBN domestik, sedangkan kepemilikan asing, termasuk pemerintah dan bank sentral asing, hanya sekitar 14,1 persen.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah lebih memilih utang dengan jangka waktu menengah hingga panjang dan secara aktif mengelola portofolio utang. Hingga 31 Mei 2024, profil jatuh tempo utang pemerintah berada dalam kondisi yang cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo sekitar 8 tahun.
"Pada akhir Mei 2024, profil jatuh tempo utang pemerintah dianggap cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) sekitar 8 tahun," tutupnya.
Baca Juga: Kiamat Pabrik Tekstil Lokal, Bos Besar Sritex Murung Karena Banjirnya Garmen Murah Asal China