Suara.com - Surat apresiasi beberapa kamar dagang asing kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto atas relaksasi impor yang dilakukan pemerintah sejak 17 Mei 2024 kembali menuai kritik. Pada 29 Mei 2024 lalu beberapa kamar dagang asing menyampaikan apresiasi kepada Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto atas terbitnya Permendag No 8 tahun 2024 yang menggantikan Permendag No 36 Tahun 2023 yang dinilai oleh kamar dagang asing di Indonesia ramah terhadap kegiatan impor ke Indonesia.
Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fahmi Wibawa menyatakan bahwa Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan melalui Permendag No. 8/2024 ibaratnya menggelar karpet merah untuk masuknya produk impor barang jadi untuk masuk ke Indonesia.
Dia mengkhawatirkan industri dalam negeri akan semakin tersungkur karena membanjirnya produk jadi di pasar dalam negeri. Dan menurutnya yang lebih mengerikan lagi adalah dampak ikutan dari relaksasi impor akan meningkatkan nilai impor dan memberikan dampak buruk terhadap nilai tukar rupiah yang terus merosot jatuh dalam waktu yang singkat.
“Ya memang kalau kita baca keseluruhan Permendag No. 8/2024, sepertinya memang ibarat menggelar karpet merah buat importir produk-produk jadi. Betapa tidak, terdapat tujuh substansi dalam Permendag No. 8/2024, enam di antaranya secara eksplisit menyiratkan relaksasi impor,” terang Fahmi yang juga merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
Baca Juga: Poin Perundingan Perdagangan Indonesia-Eurasia Segera Diselesaikan, Buka Peluang Lebih Luas
Fahmi menggarisbawahi hasil analisanya bahwa enam dari tujuh substansi utama dalam Permendag No. 8/2024 semangatnya relaksasi impor. Menurutnya wajar jika dikatakan bahwa semangat dari keluarnya aturan tersebut untuk membuka keran impor lebih besar yang di sisi lain akan sangat merugikan industri dalam negeri. Fahmi mengingatkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Mendag Zulkifli Hasan perlu segera mengerem relaksasi impor ini agar tidak merugikan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Permendag No. 8/2024 sebaiknya kembali direvisi dengan mengikutsertakan asosiasi-asosiasi industri dan kamar dagang, supaya duduk bersama guna mengetahui secara detail aspirasi dari kedua belah pihak. Karena jika kebijakan impor ini terelaksasi sangat luas, efek domino yang terjadi bukan main bahayanya,” Fahmi mengingatkan.
Fahmi juga menyoroti dalam surat apresiasi dari perwakilan kamar dagang asing menyatakan bahwa aturan yang merupakan relaksasi impor tersebut akan mendorong terciptanya lingkungan bisnis lebih kondusif dan menegaskan komitmen Indonesia dalam memfasilitasi perdagangan internasional. Menurutnya pemerintah dalam hal ini Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Mendag Zulkifli Hasan mestinya berperan sebagai penyeimbang. World Trade Organization (WTO) menegaskan, negara (anggota) dapat mengambil tindakan pengamanan (safeguard) untuk melindungi industri domestik dari dampak negatif perdagangan bebas.
“Nah, sebenarnya impor tetap dibutuhkan jika bahan baku atau produk tersebut memiliki permintaan yang tinggi namun belum mampu diproduksi di dalam negeri. Artinya dukungan terhadap perdagangan internasional tidak harus dengan membuka pintu tanpa menyaring dengan bijak. Jika pemerintah terkesan lebih mendukung produk impor, maka rencana TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang dari dulu digadang-gadangkan pemerintah pun menjadi sia-sia,” ungkap Fahmi.
Fahmi juga menyoroti perwakilan kamar dagang asing yang masih meminta pemerintah Indonesia untuk merelaksasi izin impor lebih luas lagi dari yang sudah dilakukan melalui Permendag No. 8 /2024. Menurutnya pemerintah sebaiknya tidak melakukan relaksasi impor lebih jauh lagi.
Baca Juga: Kiamat Pabrik Tekstil Lokal, Bos Besar Sritex Murung Karena Banjirnya Garmen Murah Asal China
“Permendag No. 8/2024 ini saja sudah cukup melukai hati para pelaku industri dalam negeri. Dalam surat itu, Kamar Dagang dan Industri Asing, meminta beberapa komoditas ditingkatkan relaksasinya seperti tekstil, besi dan baja, serta ban. Bila permintaan itu dipenuhi, dikhawatirkan akan mengganggu industri tekstil dalam negeri yang sudah memberikan kontribusi ke PDB sebesar 1.05% dan industri barang logam sebesar 1.57%. Akan banyak pelaku industri yang gulung tikar, dengan konsekuensi pengangguran akan semakin besar. Selain itu, Rupiah juga akan makin melemah karena permintaan terhadap USD semakin tinggi,” terang Fahmi.
Lebih lanjut Fahmi menjelaskan bahwa relaksasi impor yang berlebihan yang salah satunya dilakukan melalui Permendag No. 8/2024 ini akan menghantam industri dalam negeri. Jika tidak diimbangi dengan regulasi yang saling menguntungkan dan menyeimbangkan, hal ini akan membahayakan iklim bisnis industri dalam negeri. industri dalam negeri harus kembali bersaing dengan industri luar negeri, sehingga masih perlu didukung agar dapat menghasilkan produk dan harga yang bisa bersaing dengan industri luar.
“Jika pemerintah tidak bersikap imbang dengan mendukung industri manufaktur, dikhawatirkan badai manufaktur akan terjadi dalam waktu singkat di Indonesia. Perlu diketahui, tidak ada negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik dari tingginya impor di negara tersebut,” tambah Fahmi.
Fahmi juga mengingatkan pemerintah akan kekecewaan beberapa asosiasi industri yang menyuarakan bahwa setelah aturan Permendag No. 8/2024 dijalankan dengan ditandai dilepasnya puluhan ribu kontainer yang izin-izin impornya bermasalah pada 17 Mei 2024, mereka mulai kehilangan kontrak dalam negeri karena pelanggannya memilih untuk melakukan impor.
“Jelas saja, hal itu sudah diprediksi akan terjadi. Dunia bisnis tentu mencari profit dengan pengorbanan serendah-rendahnya. Produk impor nyatanya mampu menawarkan harga yang lebih murah dengan kualitas yang sama atau mungkin lebih baik dari produk dalam negeri. Bila ini terus berlanjut, industri manufaktur dalam negeri akan berjatuhan dan pengangguran tenaga terampil industri akan meningkat,” tutup Fahmi.