Suara.com - Menteri BUMN pertama, Tanri Abeng meninggal dunia pada Minggu (13/6) dini hari di usianya yang ke-82 tahun. Jenazahnya akan disemayamkan di Simprug Golf, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Pria berdarah Sulawesi Selatan itu pernah menjabat Menteri Negara Pendayagunaan BUMN yang kekinian berubah menjadi Menteri BUMN, pada kepemimpinan Orde Lama dan Reformasi.
Karir pertamanya dimulai menjadi Management Trainee di Union Carbide, Amerika Serikat. Lalu menjadi manager keuangan di perusahaan itu yang berlokasi di Jakarta.
Kemudian, Tanri naik jabatan menjadi Direktur PT Union-Carbide Indonesia, Direktur Agrocarb Indonesia, Direktur Karmi Arafura Fisheries dan Manager Pemasaran Union Carbide, Singapura.
Baca Juga: Profil Tanri Abeng, Mantan Menteri BUMN Pernah Jual Bir
Selepas di perusahaan pelat merah, pada 1979 Tanri Abeng berkarir di perusahaan bir asal Belanda Heineken. Dirinya sempat menjabat sebagai CEO dan dengan menganti nama perusahaan menjadi Multi Bintang Indonesia.
Menyelamatkan Garuda
Sebagai Menteri BUMN pertama, Tanri bertekad kuat menyelamatkan praktik korupsi di berbagai perusahaan plat merah itu, salah satunya adalah Garuda Indonesia.
Pada 1980-an, Garuda masuk pada masa kejayaannya di bawah pimpinan Wiweko Soepono. Namun lama-kelamaan menjadi jatuh lantaran adanya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Adapun, langkah yang diambil Tanri ialah menghilangkan kerja sama operasi di lingkungan Garuda. Sebab, hal itu mampu menghemat USD 18,27 juta atau Rp 27,1 miliar per tahun.
Baca Juga: Mantan Menteri BUMN Tanri Abeng Meninggal Dunia di Usia 82 Tahun
Tanri menilai, kerja sama itu biang kerok biaya pengadaan barang dan jasa di Garuda menjadi mahal. Contohnya pengalihan pengelolaan gudang kargo kepada PT Angkasa Bina Wiwesa (ABW).
Pihak ABW meraup Rp 6 miliar tiap bulan, sedangkan Garuda hanya dapat Rp 300 juta. Padahal Garuda sudah menanggung beban biaya operasional, telepon dan listrik.
Tanri melihat, hal ini sebagai pelanggaran atas perjanjian yang ditandatangani pada 1994. Bahwa ABW akan menyetor minimal 10 persen dari pendapatan kotor. Terbukti pada 1995, Garuda hanya menerima setoran Rp 3,1 miliar dari Rp28,5 miliar pendapatan ABW.
Langkah kedua, Tanri menghentikan broker asuransi pesawat terbang PT Bimantara Graha Insurance Broker. Sebab para karyawan Garuda pernah menggugat perusahaan itu yang berbau keras KKN.
Awalnya, pada kepemimpian Wiweko sangat menolak asuransi dari perusahaan putra mantan Soeharto itu. Namun akhirnya Garuda menerimanya lantaran mendapat tekanan.
Terakhir, langkah ketiga, Tanri membatalkan sewa enam pesawat MD-11 yang harga satuannya USD 1,1 juta. Hal ini membuat Garuda terasa berat keuangan, ditambah krisis moneter 1998.
Tanri juga membatalkan kontrak kargo di Australia dan Amerika. Lalu, meninjau kontrak agen dengan Jepang bahkan tak segan-segan setop pembelian, perawatan dan modul mesin pesawat Fokker F-100.