Suara.com - Belum lama ini gencar pemberitaan seputar jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri TPT (tekstil dan produk tekstil).
Sejak awal 2024, sebanyak 6 perusahaan tekstil di Jawa Tengah melakukan PHK. Total sebanyak 13.800 pekerja yang terdampak dan jumlah ini diyakini bisa lebih tinggi karena ada pekerja yang tidak melapor saat terkena PHK.
Penyebab dari gelombang PHK merupakan imbas dari gempuran tekstil impor karena terlalu mudahnya barang impor masuk baik legal maupun ilegal.
Ancaman banjir produk impor yang berujung gelombang PHK di industri TPT ini juga dikhawatirkan dapat terjadi di sektor industri manufaktur lainnya yang menyerap banyak tenaga kerja atau padat karya.
Baca Juga: Pemerintah Sibuk Klarifikasi Soal Banyaknya PHK di Pabrik Tekstil
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, mengatakan, terkait dengan PHK di Industri TPT, dari sisi supply impor dari China berpengaruh terhadap permintaan produk TPT dalam negeri. Produk TPT kita kalah bersaing, terutama dari sisi harga. Produk China itu bisa masuk ke dalam range harga masyarakat kita.
“Belum lagi ditambah produk dari Thailand yang sudah mulai masuk ke pasar-pasar tradisional. Jadi ini sangat bisa mengulang sejarah runtuhnya batik Indonesia di tahun 1990-an gegara batik print dari China. Produk TPT kita bisa terkapar karena produk impor ini,” ujar Nailul Huda.
Sebelumnya, banyak kalangan menduga PHK yang terjadi merupakan imbas dari terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 tahun 2024 yang merupakan perubahan ketiga atas Permendag 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Nailul Huda menambahkan, ditambah lagi adanya peraturan terbaru yang merelaksasi aturan impor yang menyebabkan barang impor masuk dengan lebih mudah. Akibatnya produsen dalam negeri harus bersaing secara harga dengan produk impor tersebut.
“Harga yang terbentuk di dalam negeri juga ada biaya non produksi yang cukup banyak seperti izin dan pungutan liar. Jadi sudah ditekan biaya tinggi dari dalam negeri, harus bersaing dengan produk murah China lagi, ya sekarat,” tambahnya.
Baca Juga: Tokopedia-TikTok Shop Restrukturisasi Organisasi: PHK, Tapi Berbeda
Menurut Nailul, pasar produk TPT terbesar Indonesia yakni Amerika Serikat tengah mengalami penurunan permintaan dalam beberapa tahun terakhir. Akibatnya permintaan barang TPT dari Indonesia juga menurun.
Kondisi ini diperparah oleh produk TPT China juga masuk ke negara tujuan ekspor Indonesia. Ini yang akhirnya produksi menurun dan terjadi PHK dalam jumlah yang besar. Dampaknya bisa meluas ke ekonomi makro dan daya beli masyarakat yang pasti tertekan. Kemiskinan bisa mengancam.
Pemerintah diminta dapat segera menetapkan kebijakan perlindungan pasar dalam negeri dan menjaga kesetabilan perekonomian Indonesia. Pemerintah juga diharuskan segera melakukan kebijakan atas bahan baku impor yang ketat melalui Domestic Utilization Obligation Policy, dimana importir produsen wajib terlebih dahulu menghabiskan menggunakan hasil dari kapasitas nasional industri dalam negeri sejenis.
Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi VI dari Fraksi PKS, Amin Ak yang menilai bahwa Permendag Nomor 8 Tahun 2024 berpotensi memperparah deindustrialisasi di Indonesia, yang bertentangan dengan kampanye Presiden Jokowi tentang pentingnya hilirisasi dan industrialisasi.
Industrialisasi dianggap penting untuk mengangkat Indonesia dari negara berkembang dengan pendapatan per kapita US$4.900 menjadi negara maju dengan pendapatan US$12.000 atau lebih, serta mencapai pertumbuhan ekonomi 6-7% per tahun.
Amin menyoroti bahwa Permendag 8/2024 justru bertolak belakang dengan tujuan tersebut. Banyak pabrik tekstil dan alas kaki tutup awal 2024, menyebabkan puluhan ribu karyawan di-PHK. Hal itu terjadi karena Permendag 8/2024 menghapus syarat pertimbangan teknis (pertek) untuk impor, memudahkan produk impor masuk dan mengancam industri lokal.
“Ancaman deindustrialisasi ini memaksa pelaku industri beralih menjadi pedagang, yang berdampak buruk pada ketersediaan lapangan kerja di dalam negeri,” tegas Amin.
Amin menyarankan agar Permendag 8/2024 diselaraskan dengan upaya peningkatan daya saing industri dalam negeri. Ia khawatir kebijakan ini akan menurunkan optimisme pelaku industri, menghambat teknologi dan inovasi, serta meningkatkan ketergantungan pada produk impor, yang pada akhirnya melemahkan industri domestik.