Suara.com - Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) yang telah berjalan hingga tahun 2024 ini, memberikan mandat bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, guna melakukan serangkaian upaya perbaikan tata kelola dengan layanan program rencana aksi serta dibiayai melalui instrumen APBN, APBD, serta dukungan kerjasama multipihak.
Kendati pada kenyataannya, adopsi terhadap kebijakan Rencana Aksi KSB di tingkat daerah masih sangat minim, hingga saat ini hanya 9 provinsi dan 19 kabupaten yang telah menetapkan kebijakan tersebut.
Alhasil, keberadaan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) mengalami stagnasi, baru sekitar 0,3 persen dari luasan lahan perkebunan kelapa sawit nasional yang dapat melakukannya. Berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah berkolaborasi dengan multi pihak, menjadi pendorong utama sertifikasi ISPO bagi petani kelapa sawit. Gagasan pendekatan yuridis sebagai salah satu pilihan, guna mempercepat proses sertifikasi ISPO bagi perkebunan kelapa sawit nasional.
Menurut Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan, Kemenko, Eddy Yusuf, sertifikasi ISPO bagi petani kelapa sawit khususnya petani swadaya, dapat didorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda), berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan lainnya. Pasalnya, sertifikasi ISPO merupakan bagian dari komitmen pemerintah akan minyak sawit berkelanjutan.
Baca Juga: Perluas Program PSR Pola Off Taker Aktiv, PTPN IV PalmCo Rekor Tanam Ulang Tercepat Nasional
“Dukungan dari Pemerintah bersama pemangku kepentingan lainnya dibutuhkan bagi percepatan sertifikasi ISPO”, kata Eddy pada acara workshop dengan tema "Best Practices Perkebunan Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Yurisdiksi", yang diselenggarakan SPKS dan Kaleka, ditulis Jumat (21/6/2024).
Dukungan Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) RI, juga diberikan bagi percepatan sertifikasi petani. Kementan bersama Dinas Perkebunan daerah, berupaya mendorong adanya perbaikan tata kelola dan praktik budidaya tanaman kelapa sawit bagi petani di daerah. Upaya yang dilakukan, juga berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan lainnya, supaya menghasilkan minyak sawit berkelanjutan.
Menurut Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHBun), Prayudi Syamsuri, guna mendukung permintaan minyak sawit yang terus tumbuh 7,3% dan tekanan praktik sawit berkelanjutan yang semakin ketat, maka pemerintah meluncurkan strategi Sawit Satu, yakni dengan menerapkan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), yang didukung oleh anggaran dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Lantas mendorong Penerapan ISPO, perbaikan Sarana dan Prasarana (Sarpras) dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki infrastruktur yang diperlukan di perkebunan sawit. Pula menyediakan anggaran beasiswa sebesar 3000 untuk anak-anak petani sawit.
“Termasuk penerbitan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) merupakan komitmen pemerintah untuk mendukung keberlanjutan sektor sawit,” katanya.
Baca Juga: Manfaatkan E-Tekpol, PTPN IV Regional III Targetkan Produksi 592.000 Ton CPO
Lebih lanjut tutur Prayudi, mengenai pendekatan yurisdiksi merupakan suatu wilayah yang ditetapkan dengan batas-batas tertentu baik secara politis maupun administratif. Wilayah dalam yurisdiksi tersebut akan dinilai kepatuhan dan pemenuhannya terhadap prinsip dan kriteria untuk memperoleh sertifikasi ISPO. CPO yang diproduksi di dalam batas wilayah tersebut dapat dianggap telah mematuhi standar ISPO.
“Pendekatan yurisdiksi dapat menjadi peluang untuk mendorong percepatan sertifikasi ISPO terutama di tingkat pekebun,” kata Prayudi.
Sejalan dengan upaya pemerintah, Yayasan Kaleka (dahulu Inobu) menginisiasi pendekatan yuridis sebagai upaya dalam mendorong percepatan sertifikasi ISPO. Diungkapkan Bernadinus Steni Sugiarto dari Yayasan Kaleka, bila proses sertifikasi dilakukan dengan mengikutkan kurang dari 500 petani, biaya sertikasi akan terasa mahal mencapai di atas US$ 170 per petani.
Sementara bila skala proses sertifikasi itu dikembangkan menjadi sebanyak diatas 2000 petani sawit, maka biaya sertifikasi minyak sawit berkelanjutan bisa ditekan hingga minimal sampai kurang dari US$ 50 per petani.
Sebab itu guna mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan terkoordinasi. Salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan meningkatkan skala sertifikasi untuk mencakup lebih banyak petani dalam satu proses. Dengan memperluas cakupan, biaya per petani dapat dikurangi secara signifikan, sehingga membuatnya lebih terjangkau bagi semua pihak.
Selain itu, intervensi kebijakan juga diperlukan untuk mengurangi biaya yang terkait dengan proses sertifikasi. Hal ini termasuk pemberian subsidi untuk pengembangan kapasitas petani, pemetaan lahan, pembentukan organisasi petani, dan pengurusan legalitas. Dengan demikian, proses sertifikasi dapat menjadi lebih efisien dan berkeadilan bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat.
Berbagai dukungan akan percepatan ISPO juga menjadi bagian kerja dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) yang selalu mendorong adanya Pengorganisasian petani, perbaikan tata kelola dan praktik budidaya berkelanjutan.
Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin mengungkapkan, untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang inklusif dan mudah diakses bagi petani sawit. Salah satu solusi yang diusulkan adalah pendekatan holistik atau yang dikenal sebagai sertifikasi kewilayahan atau yurisdiksi. Pendekatan ini memungkinkan untuk percepatan sertifikasi ISPO dengan melibatkan pemerintah dan berbagai pihak terkait.
"Saat ini, kebijakan di sektor perkebunan Indonesia telah ada untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, termasuk kebijakan terkait ISPO dan RAN KSB, serta upaya penyusunan RAD KSB di tingkat daerah," ujar Sabarudin.
Lebih lanjut tutur Sabarudin, namun masih terdapat kesenjangan dalam pencapaian dan output, terutama dalam konteks kewilayahan dan lingkungan.
Sebab itu, SPKS menekankan pentingnya merumuskan pendekatan kewilayahan yang komprehensif untuk menciptakan kabupaten yang berkelanjutan. Hal ini mencakup inventarisasi seluruh aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan di dalam wilayah tersebut, serta perencanaan aksi dan sistem kelembagaan yang mendukung.
Contoh implementasi dari pendekatan kewilayahan adalah pendataan petani secara menyeluruh dalam satu wilayah, yang kemudian disertifikasi secara kolektif. Pendekatan ini memastikan bahwa tidak ada satu pun petani yang terpinggirkan dari proses sertifikasi.
Evaluasi menyeluruh dari kondisi wilayah, termasuk identifikasi daerah yang terdegradasi, medium, dan stabil, juga menjadi bagian dari pendekatan ini.
"Solusi yang kami ajukan bukan lagi bersifat teknokratik belaka, melainkan responsif dan akuntabel, yang mendukung tata kelola sawit yang sesuai dengan kebutuhan perubahan konkret di tingkat tapak," tandas Sabarudin.