Ekonom Pertanyakan Motif Relaksasi Impor yang Rugikan Industri Dalam Negeri

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 20 Juni 2024 | 16:46 WIB
Ekonom Pertanyakan Motif Relaksasi Impor yang Rugikan Industri Dalam Negeri
Ilustrasi ekspor impor.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Belum lama pada 29 Mei 2024 ini beberapa kamar dagang asing menyampaikan surat apresiasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto atas terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 tahun 2024 pada 17 Mei 2024 yang menggantikan Permendag No. 36 Tahun 2023.

Aturan terbaru itu dirasa perwakilan kamar dagang asing ini ramah terhadap aktivitas impor ke Indonesia karena menghilangkan beberapa aturan yang selama ini menjadi batasan dalam melakukan impor barang ke Indonesia.

Dengan terbitnya aturan tersebut, pada 17 Mei 2024 puluhan ribu kontainer yang masih bermasalah perizinan impornya akhirnya dilepaskan masuk ke pasar Indonesia. Para pelaku industri dalam negeri banyak yang kecewa karena merasa tidak dilindungi oleh pemerintah.

Ekonom Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo Ernoiz Antriyandarti mengkritik Langkah Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan maupun Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto terkait terbitnya Permendag No. 8 tahun 2024. Menurutnya Langkah tersebut akan memberikan dampak buruk bagi sektor industri Indonesia.

Baca Juga: KPK Siap Turun Tangan Dalami Persoalan Demurrage Beras Bulog Rp 350 Miliar

“Aturan terbaru yang dikeluarkan Menteri Perdagangan ini dapat menjadi masalah baru bagi industri secara umum serta khususnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Penurunan daya saing tekstil Indonesia dalam dekade terakhir ini saja masih belum terselesaikan. Permendag No 8 tahun 2024 berpotensi memperburuk kondisi pertekstilan Indonesia,” terang Ernoiz ditulis Kamis (20/6/2024).

Ernoiz bertanya-tanya mengenai motif utama dari langkah pemerintah melakukan relaksasi impor ini karena akan sangat mempengaruhi sektor industri dalam negeri dan khususnya serapan tenaga kerja.

Menurutnya saat ini banyak kebijakan-kebijakan yang minim kajian sebelum diberlakukan. Akibatnya, kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pasti menimbulkan kerugian publik.

“Apa sebenarnya target pemerintah dengan instrumen kebijakan ini? Menurunkan inflasikah? Jika betul, berapa persen ekspektasinya, karena inflasi dan pengangguran merupakan trade off yang sulit dihindari. Kurva Phillips mengingatkan bahwa penurunan inflasi cenderung meningkatkan pengangguran,” beber Ernoiz.

Dalam surat apresiasinya tersebut, perwakilan kamar dagang asing menyatakan bahwa relaksasi impor tersebut akan mendorong terciptanya lingkungan bisnis lebih kondusif dan menegaskan komitmen Indonesia dalam memfasilitasi perdagangan internasional.

Baca Juga: KPK Diminta Periksa Bapanas dan Bulog Soal Kasus Demurrage Rp 350 Miliar Beras Impor

Ernoiz mengingatkan bahwa pemerintah tetap harus mengedepankan daya saing industri dalam negeri dibanding tekanan atau pujian pemerintahan asing. Menurutnya sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia memang harus mendukung liberalisasi perdagangan.

Akan tetapi, pemerintah juga harus berhati-hati dan melindungi produsen dalam negeri, terlebih lagi jika sektor tersebut jelas-jelas telah kehilangan daya saingnya.

“Banyak komoditas Indonesia masih harus menguatkan daya saingnya, ketika semakin diliberalisasi maka dampak negatif dari perdagangan internasional akan lebih dirasakan oleh produsen-produsen dalam negeri, terutama produsen berskala kecil,” imbuh Ernoiz.

Ekonom UNS ini juga mengingatkan Pemerintah harus dapat bersikap tegas dan membuat batasan, jangan sampai kemudahan impor menjadi bumerang bagi neraca perdagangan Indonesia yang sudah surplus saat ini. Dalam suratnya itu kamar dagang asing masih meminta pemerintah Indonesia untuk merelaksasi izin impor lebih luas lagi dari yang sudah dilakukan melalui Permendag 8 tahun 2024.

“Jika relaksasi impor direalisasikan untuk komoditas yang berdaya saing, tidaklah mengkhawatirkan. Jika relaksasi impor direalisasikan untuk komoditas tekstil dan produk tekstil (TPT), dapat menjadi pemicu semakin merosotnya daya saing, pabrik tekstil yang tutup bertambah, PHK juga meningkat,” tambah Ernoiz.

Ernoiz juga menyoroti beberapa asosiasi industri yang menyuarakan bahwa setelah aturan Permendag nomor 8 tahun 2024 mulai kehilangan kontrak dalam negeri karena pelanggannya memilih untuk melakukan impor.

“Momentum ini dapat menurunkan kepercayaan pengusaha dalam negeri terhadap keberpihakan pemerintah. Iklim usaha di dalam negeri dapat terganggu yang jika dibiarkan akan menimbulkan bibit-bibit terjadinya guncangan ekonomi nasional.” tambah Ernoiz.

Dalam kesempatan lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana kebijakan baru dari Kementerian Perdagangan tersebut sudah mulai dirasakan dampaknya bagi para pelaku industri tekstil di Indonesia dan akan kian parah dalam beberapa waktu ke depan.

“Dalam waktu cepat puluhan ribu kontainer yang masuk ke Indonesia secara legal karena dibuka oleh Permendag itu kemudian akan menghantam produk-produk industri tekstil dan garmen kita yang domestik. Nah kurang lebih proyeksi kita dalam satu tahun ke depan apabila itu tetap terjadi maka setiap bulan akan muncul kurang lebih 10.000 - 30.000 kontainer.” terang Danang.

Danang juga menyayangkan pelaku industri yang tidak didengar khusus dalam perubahan dari Permendag 36/2023 ke Permendag 8/2024 ini. Menurutnya jika pelaku industri dalam negeri diajak maka dampak negatif aturan baru terhadap sektor industri dalam negeri akan bisa ditekan.

“Pada waktu pembahasan peraturan-peraturan ini kami tidak dilibatkan secara formal. Perubahan peraturan dari Permendag No. 36/2023 menjadi Permendag 8/2024 ini kan kemudian juga tidak melibatkan kami. Sehingga kami tahunya ya terkaget-kaget, loh kok tiba-tiba ada perubahan ini, tiba-tiba ada perubahan ini, tiba-tiba dibuka lebar-lebar.” buka Danang.

Menurut Danang aturan ini juga pada akhirnya akan merugikan ke pendapatan negara juga. Karena nilai pajak yang diterima negara menjadi berkurang dari seharusnya jika industri dalam negeri besar akan mampu bayar pajak besar, menjadi mengecil sehingga bayar pajaknya makin kecil.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI