Pemerintah Perlu Kompensasi Rp 26,7 T untuk Selisih HGBT: Gunakan EBT untuk Alternatif

Sabtu, 15 Juni 2024 | 12:39 WIB
Pemerintah Perlu Kompensasi Rp 26,7 T untuk Selisih HGBT: Gunakan EBT untuk Alternatif
Kilang LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat. Sebagai ilustrasi tenaga alternatif [ANTARA/HO-BP Tangguh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah telah memberlakukan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2020. HGBT sendiri adalah sejenis insentif berupa pembatasan harga gas paling tinggi 6 dolar Amerika Serikat (AS) per MMBtu (Metric Million British Thermal Unit) yang ditujukan kepada PT PLN (Persero) dan Badan Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik (BUPTL).

Dikutip dari kantor berita Antara, pemerintah akan menanggung selisih beban harga dari perusahaan produsen gas sekitar 2- 4 dolar AS per MMBtu, apabila mengacu rata-rata harga gas domestik di Indonesia berkisar 8-10 dolar AS per MMBtu.

Sartika Nur Shalati, Peneliti Yayasan Indonesia Cerah menyatakan bahwa rencana pemerintah mengalokasikan 20 Gigawatt (GW) gas dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024 berisiko menambah emisi karbon dioksida (CO2) mencapai 10,1 juta sampai 32,6 juta ton CO2 per tahun.

PT PLN berencana mengganti Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara (PLTU) ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG/GU/MG) sebesar 880 Megawatt (MW) di sejumlah wilayah, di antaranya PLTGU Sulbagsel (450 MW), PLTGU Halmahera Timur (200 MW), PLTMG Sumbawa-2 (100 MW), PLTMG Lombok-2 (100 MW), serta PLTMG Bau-Bau(30 MW) (RUPTL 2021-2030).

Baca Juga: Listrik Telah Hadir di Desa Terpencil Manggarai Barat, Dukung Kegiatan Ekonomi Produktif

Dalam hasil risetnya, Sartika Nur Shalati menjelaskan apabila penambahan 20 GW pembangkit listrik gas dalam RUPTL baru tetap diteruskan, maka diperkirakan butuh bahan bakar gas sekitar 4.640 BBtud (4.640.000 MMBtud).

Untuk itu, pemerintah diproyeksikan perlu menanggung sekitar 4,64 juta dolar AS per hari (Rp 74,24 miliar) atau Rp 26,7 triliun per tahun di setiap selisih harga gas 1 dolar AS dari harga aslinya, untuk menghidupkan penambahan kapasitas itu.

"Semakin besar selisih harga gas dengan HGBT, maka semakin besar pula potongan pendapatan negara yang diperoleh dari sektor migas," tandas Sartika Nur Shalati.

Kondisi itu juga menambah beban subsidi mau pun kompensasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di mana biaya operasi pembangkit gas lebih mahal dengan faktor kapasitas lebih rendah, dibandingkan dengan batu bara.

"Hal ini sekaligus mengonfirmasi, gas juga tidak lebih baik dari PLTU, baik dari segi finansial, keandalan, dan juga pengurangan emisi. Tiga indikator utama ini seharusnya menjadi objek penilaian ketika memilih sumber energi," jelas Sartika Nur Shalati.

Baca Juga: PLN-WRI Indonesia Lanjutkan Kolaborasi, Analisa Peluang Implementasi Nilai Ekonomi Karbon

Karena itu, daripada memprioritaskan gas sebagai alternatif pengganti batu bara yang sama-sama energi fosil, mahal dan tinggi emisi, pemerintah sebaiknya lebih progresif beralih ke energi baru terbarukan (EBT) seperti surya dan angin yang terbukti lebih ekonomis, rendah emisi, dan andal.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI