Suara.com - Pesatnya perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sangat membantu kehidupan manusia pada semua bidang kehidupan. Namun, sayangnya anugerah kemudahan tersebut kurang diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Itu terbukti dari hadirnya beragam masalah sosial dan etika yang muncul sebagai dampak dari kesibukan manusia berteknologi, yang berorientasi pada keuntungan dan sering melupakan sisi kemanusiaan.
Demikian disampaikan Prof. Dr. Retnowati, S.Th., M.Si., dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di President University. Pidato yang bertopik Digital Society, Perubahan Perilaku dan Empati pada Kemanusiaan: Pendekatan Antropologi itu disampaikan di President Executive Club, Capitol Business District, Kota Jababeka, Cikarang, Bekasi.
Prosesi pengukuhan Prof. Retno dilakukan dalam sidang senat terbuka yang dipimpin oleh Rektor Presuniv Handa S. Abidin, SH, L.LM, Ph.D.
Hadir dalam prosesi pengukuhan tersebut Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Presiden (YPUP) Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA, dan pengurus yayasan lainnya. Hadir pula Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Prof. Dr. Intiyas Utami, S.E., M.Si., Ak., CA, CMA, QIA, C.Fra., Prof. Ir. Onno Widodo Purbo, M.Eng, Ph.D., pakar teknologi informasi yang juga Wakil Rektor di Institut Teknologi Tangerang Selatan, Dwi Larso, Ph.D., Direktur Beasiswa, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Kementerian Keuangan, beberapa guru besar, segenap civitas academica di lingkungan Presuniv, serta sejumlah tamu undangan lainnya.
Dalam pidato sambutannya pada acara itu Prof. Budi Susilo menyampaikan tiga harapan terkait pengukuhan Prof. Retno. Pertama, pengukuhan tersebut diharapkan terus memperkuat nilai-nilai dan tradisi akademis di lingkungan Presuniv. Kedua, Presuniv diharapkan mampu memanfaatkan segenap potensi akademis Prof. Retno.
“Salah satu bentuknya adalah dengan meminta Prof. Retno berkenan membimbing mahasiswa S2, atau bahkan kelak S3,” ungkap Prof. Budi Susilo.
Ketiga, pengukuhan Prof. Retno sebagai guru besar diharapkan menjadi momentum untuk terus meningkatkan kapasitas riset dan publikasi.
“Apalagi Prof. Retno pernah menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset dan Pengabdian Masyarakat di Presuniv,” tegas Prof. Budi.
Sementara, dalam sambutannya sebagai ketua senat Presuniv, Handa S. Abidin, mengungkapkan bahwa Prof. Retno adalah guru besar ke-3 yang dikukuhkan oleh Presuniv. Guru besar sebelumnya yang dikukuhkan oleh Presuniv adalah Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto, kini menjabat sebagai Sekretaris YPUP dan Staf Ahli Bidang Inovasi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Kebudayaan, serta Prof. Dr. Chairy, Wakil Rektor Presuniv bidang Kerja Sama.
Baca Juga: Dukung Industri Kreatif, PresUniv Orkestrasi K-Wave
“Dengan dikukuhkannya Prof. Retno, saat ini Presuniv sudah memiliki sembilan guru besar yang tersebar di lima fakultas,” ucap Handa.
Meski begitu, lanjut dia, sembilan guru besar yang dimiliki oleh Presuniv sebetulnya masih terlalu sedikit.
“Itu sebabnya kami di Presuniv terus mendorong segenap dosennya agar segera menjadi guru besar,” tegas Handa.
Kata Handa lagi, “Bagi kami, keberhasilan Prof. Retno menjadi guru besar bukan hanya capaian beliau sebagai pribadi, tetapi juga capaian Presuniv. Bukan hanya Prof. Retno dan keluarganya yang bahagia dan berbangga, tapi juga Presuniv.”
Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Retno mengatakan bahwa pada era digital seperti sekarang dibutuhkan kajian antropologi untuk memprediksi kondisi sosial masyarakat.
“Itu baik untuk kondisi pada saat ini maupun masa mendatang, dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
Menurut Prof. Retno, di masyarakat ada pemahaman yang keliru tentang antropologi. “Ilmu antropologi dianggap hanya mempelajari kelompok masyarakat yang terpencil, sederhana, terisolasi baik secara sosial ekonomi maupun teknologi. Contohnya, masyarakat Aborigin di Australia, suku Indian di Amerika Serikat, dan berbagai suku lainnya baik di Indonesia, di Afrika atau negara-negara lainnya,” ungkapnya.
Pemahaman yang keliru semacam ini, lanjut dia, membuat ilmu antropologi seakan-akan tersingkir dari kehidupan modern.
Katanya, “Di era globalisasi sekarang ini, definisi tentang masyarakat terpencil perlu dikaji ulang. Sekarang ini di era digital dan internet semuanya bisa dijangkau dengan mudah dan murah.”
Menurut Prof. Retno, perkembangan TIK telah mengubah pola interaksi, pola pikir, pola tindak dan perilaku masyarakat sehari-hari. Katanya,
“Kalau dulu interaksinya dengan tatap muka, masyarakat sekarang merasa lebih nyaman, lebih efektif dan lebih efisien berinteraksi di dunia maya.”
Kondisi tersebut menuntut perubahan cara melakukan penelitian. “Sebelumnya penelitian antropologi dilakukan dengan pendekatan etnografi. Penelitian semacam itu menuntut para peneliti untuk datang dan tinggal bersama masyarakat yang ditelitinya dalam jangka waktu tertentu,” papar Prof. Retno.
Seiring dengan perkembangan TIK yang memicu terjadinya perubahan, arena kajian pun berubah menjadi digital. Katanya, “Sekarang ini media sosial sudah menjadi potret dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Maka, apa yang terjadi di media sosial dapat menjadi data riset untuk kajian antropologi.”
Mengutip data, Prof. Retno menyebutkan bahwa dari 281,7 juta penduduk Indonesia, sebanyak 185,3 juta atau 66% di antaranya merupakan pengguna internet.
Lalu, sebanyak 139 juta atau 49% dari seluruh penduduk Indonesia tercatat aktif menggunakan media sosial. Untuk itu, lanjut dia, penelitian antropologi perlu berubah dari semula memakai metode etnografi menjadi netnografi.
“Netnografi adalah singkatan dari internet dan etnografi. Metode ini bisa dipakai untuk mengidentifikasi kehidupan di dunia maya dan menjadikannya sebagai bahan riset,” ungkapnya.
Saat ini relatif murahnya tarif internet serta kecepatan dan kemudahan aksesnya telah merevolusi media sosial. Kata Prof. Retno, “Siapa pun bebas mengakses dan memproduksi informasi.” Sayangnya banjir informasi ini tidak diimbangi dengan daya kritis dari pengguna media sosial.
“Akibatnya ruang publik pun menjadi riuh. Berbagai ide dan gagasan mengalir dengan tanpa filter dan seleksi. Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya. Mereka meluapkan keinginannya, empati, kepedulian, bahkan sampai kebencian, purbasangka, hingga sumpah serapah,” ungkap dia.
Prof. Retno mencatat setidak-tidaknya ada 10 media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. WhatApps digunakan oleh 92,1% warganet, disusul Instagram (86,5%), Facebook (83,5%), Tiktok (73,5%), Telegram (64,3%), X (57,5%), Facebook Messenger (44,9%), Pinteres (34%), Kuai-shou (32,4%) dan LinkedIn (25%).
Melihat kondisi tersebut, menurut Prof. Retno, menarik untuk mendiskusikan posisi kebudayaan Indonesia yang telah diorganisasi oleh media sosial melalui berbagai informasi yang sengaja disebarluaskan.
Katanya, “Menarik untuk mengkaji konstruksi media sosial yang telah berkembang tidak hanya merepresentasikan pengetahuan yang mendidik masyarakat, tetapi justru mendekonstruksi realita sosial.”
Media sosial yang mestinya digunakan untuk membantu menyelesaikan masalah, membuat manusia menjadi lebih inovatif dan produktif, menurut Prof. Retno, justru banyak disalahgunakan. Contohnya, banyak penipuan perbankan online atau penyebaran link menyesatkan yang dikirimkan melalui WhatApps; Hoax atau cyberbullying dilakukan melalui Instagram; Penyebaran video porno atau intimidasi dilakukan melalui Tiktok; dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.
Itu sebabnya kala masyarakat menuju era Society 5.0, usul Prof. Retno, teknologi, termasuk media sosial, sebaiknya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan membantu manusia menyelesaikan berbagai masalahnya.
“Jadi, bukan malah dipakai untuk menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya. Justru teknologi harus mengangkat dan meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sementara, Prof. Onno menekankan pentingnya dua kata kunci yang disampaikan Prof. Retno dalam pidato pengukuhannya. “Dua kata kunci itu adalah perilaku dan prediksi,” katanya. Di era digital seperti sekarang, terlebih dengan adanya media sosial, menurut Prof. Onno, prediksi perilaku masyarakat di masa depan harus dilakukan dengan berbasis data. “Bukan dengan ramalan, atau perkiraan lagi,” katanya.