Suara.com - Penarikan dana persyarikatan PP Muhammadiyah dari Bank Syariah Indonesia (BSI) sedang ramai diperbincangkan belakangan ini. Salah satu alasan tindakan ini dilakukan karena PP Muhammadiyah ingin mengalihkan dana ke bank-bank syariah lain agar dapat mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia.
Bank syariah memang sudah banyak bermunculan di Indonesia. Pada 2024, tercatat ada 14 bank umum syariah yang saat ini resmi beroperasi.
Walau sudah mulai berkembang, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui perbedaan mendasar dari bank syariah dengan bank konvensional pada umumnya.
Maka dari itu, yuk, cek informasi di bawah ini untuk ketahui perbedaannya.
Baca Juga: Muhammadiyah Hengkang dari BSI? Ini Kata Erick Thohir
Penjelasan Bank Syariah
Secara definisi, Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebut bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Ketika menerapkan prinsip syariah, berarti sebuah perbankan mengikuti aturan Islam dan menjauhi beberapa larangan yang muncul ketika transaksi ekonomi berjalan. Aktivitas keuangan perbankan juga dilakukan tidak hanya melihat efek dunia saja, tetapi juga memperhatikan aspek akhirat.
Anggota Pusat Kajian Hukum Bisnis Universitas Airlangga, Dr. Trisadini Prasastinah Usanti, S.H., M.H. dalam tulisannya di Hukumonline.com menyebut ada lima unsur yang tidak boleh ada dalam kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah, yaitu:
-Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
Baca Juga: Muhammadiyah Tolak Tawaran Izin Tambang, Bahlil: Kita Kasih yang Butuh!
-Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
-Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
-Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; dan
-Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Sistem Operasional
Ketika menganut prinsip syariah, itu berarti bank syariah tidak menggunakan sistem bunga untuk mencari keuntungan karena hal tersebut mengandung unsur riba. Demi tetap untung, bank syariah pun menerapkan akad yang membingkai hubungan hukum para pihak.
Pada akad jual beli seperti akad murabahah, maka keuntungannya diambil dalam bentuk margin keuntungan. Pada akad bagi hasil, seperti pada akad mudharabah dan musyarakah, maka keuntungannya diperoleh dari persentase nisbah bagi hasil yang disepakati antara bank dengan nasabahnya.
Sedangkan pada akad sewa seperti pada akad ijarah dan ijarah muntahiyyah bittamlik, maka keuntungannya diperoleh dari imbalan jasa (ujrah).
Hubungan kepada nasabah juga ada 4 jenis dalam bank syariah meliputi penjual-pembeli, kemitraan, sewa dan penyewa.
Dalam penggunaan akad murabahah, istishna, dan salam, pihak bank berperan sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.
Sementara akad mudharabah dan musyarakah memperlakukan hubungan kemitraan. Akad ijarah memposisikan bank sebagai pemberi sewa dan nasabah sebagai penyewa.
Tak hanya meniadakan sistem bunga, dalam bank syariah juga tidak memberikan beban denda jikalau nasabah telat atau tidak bisa membayar. Sebagai gantinya, bank akan melakukan perundingan dan kesepakatan bersama dengan nasabah.
Meskipun beberapa bank syariah ada yang menetapkan denda pada kasus tertentu, tetapi uang denda dari nasabah tidak dinikmati oleh pihak bank melainkan dianggarkan sebagai dana sosial.
Landasan Hukum dan Pengawasan
Karena memiliki bentuk dan operasional yang berbeda dengan bank konvensional, bank syariah juga memiliki perbedaan landasan hukum ketika ingin beroperasi di Indonesia.
Landasan hukum bank syariah ialah UU 21/2008, UU 4/2023, Peraturan OJK, Peraturan BI, dan tak lupa harus berdasarkan pada Al-Quran, hadis dan Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Hal ini yang membuat bank syariah tak hanya diawasi oleh OJK seperti bank konvensional, tapi juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS merupakan dewan yang bertugas untuk memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.
Perbedaan lain ialah penyelesaian sengketa secara litigasi antara bank syariah dengan nasabahnya dilakukan melalui pengadilan agama, bukan pengadilan negeri.
Sementara untuk penyelesaian secara non litigasi diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional-MUI.