Suara.com - Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) secara wajib bagi para pekerja yang baru saja disahkan pemerintah menimbulkan banyak protes baik dari kalangan pekerja maupun pengusaha.
Aturan yang diteken penguasa dianggap sebagai pemaksaan terhadap rakyat untuk membayar, padahal tak semua membutuhkannya. Misalkan bagi pekerja yang sudah memiliki rumah namun masih harus bergelut dengan KPR maupun yang memiliki rumah warisan dari generasi sebelumnya.
Di dalam Islam, bagaimana hukum fiqih pemaksaan membayar dari pemerintah, termasuk membayar Tapera? Pasalnya, bagi kaum muslim pemerintah merupakan ulil amri atau pemimpin yang harus diikuti.
Melansir kanal resmi Muhammadiyah, para ulama sepakat bahwa perbuatan meminta-minta adalah haram, sebab orang yang meminta-minta sebenarnya meninggalkan kewajiban berikhtiar yang diperintahkan Allah, kecuali dalam keadaan terpaksa. Misalnya karena buta, lumpuh, sangat lemah, dan sebagainya, sehingga kalau tidak meminta-minta ia tidak dapat mempertahankan hidupnya.
Baca Juga: Pemerintah 'Paksa' Rakyat Iuran Tapera, Bakal Disanksi Jika Tidak Bayar
Syamsuddin az-Zahabiy (1416 H) menjelaskan bahwa sebagian orang sangat ringan untuk meminta kepada orang lain, tanpa adanya kebutuhan yang mendesak, dan sering mengatakan: diberi ya syukur, tidak diberi ya tidak mengapa. Padahal meminta-minta di samping berdosa, juga menurunkan martabat dan muru’ah.
Dalam suatu hadis diungkapkan bahwa orang yang suka meminta-minta, di akhirat nanti daging di wajahnya akan rontok, sehingga tinggal kulit dan tulang: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata: Nabi saw bersabda: Sebagian orang selalu meminta-minta hingga ketika sampai di hari kiamat, tidak ada sedikit pun daging di wajahnya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Sementara itu QS Al Baqarah ayat 188 menyebutkan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.
Sementara itu, jika pemimpin mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat atau orang – orang yang dipimpinnya bisa dikategorikan sebagai pemimpin yang zalim.
Sebuah hadis menyebutkan barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam). Maka dari itu semua kebijakan yang dibuat harus mengakomodasi kepentingan orang – orang yang dipimpinnya. Wallahu 'alam bisshawwab.
Baca Juga: Gaji Rieke Diah Pitaloka, Pantas Galak Skakmat Iuran Tapera Ala Jokowi
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni