Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut dugaan korupsi di PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk. Berdasarkan informasi yang dihimpun, kasus ini bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit mereka.
Temuan BPK mengendus adanya potensi kerugian negara dari sejumlah proyek yang dikerjakan emiten dengan kode saham PGAS ini.
Berdasarkan dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Atas Pengelolaan Pendapatan, Biaya dan Investasi Tahun 2017 sampai semester I 2022 pada perusahaan PGN yang dimiliki Suara.com ditemukan sejumlah potensi kerugian negara yang bisa ditimbulkan dari sejumlah proyek itu.
Salah satunya, terkait dengan realisasi pembangunan terminal LNG Teluk Lamong senilai Rp383,2 miliar yang berpotensi tidak dapat dimanfaatkan.
Baca Juga: Perintahkan Jaksa KPK Bebaskan Gazalba Saleh, Hakim: Hanya Formalitas Saja
Dalam halaman 22 hasil pemeriksaan BPK itu disebutkan bahwa proyek terminal LNG Teluk Lamong berpotensi tidak dapat dimanfaatkan.
"Dikhawatirkan hal ini akan berakibat pada kerugian negara," tulis laporan BPK itu dilihat Senin (27/5/2024).
Temuan BPK juga menunjukkan adanya potensi perhitungan yang keliru sejak tahap perencanaan proyek. Hal ini dikhawatirkan akan berakibat pada operasional terminal yang tidak optimal dan tidak sesuai dengan tujuan awal pembangunannya.
Proyek yang telah menghabiskan anggaran sebesar Rp383,2 miliar itu terbagi menjadi tiga tahap. Termin pertama ditargetkan beroperasi pada akhir 2019, dan keseluruhan proyek ditargetkan rampung pada 2023. Namun, hingga saat ini, proyek tersebut masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.
BPK sendiri telah merekomendasikan agar PGN melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek Terminal LNG Teluk Lamong.
"Evaluasi ini perlu dilakukan untuk memastikan kelayakan proyek dan potensi kerugian negara yang mungkin timbul," tulis rekomendasi BPK.
Selain dugaan kasus itu, BPK juga menemukan adanya potensi kerugian hingga ratusan miliar rupiah dalam transaksi jual beli gas PGN dengan PT Inti Alasindo Energy (IAE). Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) senilai USD 15 atau sekitar Rp241,9 miliar ini diduga mengandung unsur korupsi.
Dalam halaman 43 hasil pemeriksaan BPK disebutkan dugaan kasus pemberian uang muka yang bermasalah oleh PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) kepada PT Inti Alasindo Energi.
Awal mula kasus
Dugaan kasus ini bermula dari pemberian uang muka senilai USD 15 juta oleh PGN kepada PT Inti Alasindo Energi untuk proyek pipa gas. Namun, dalam prosesnya, ditemukan sejumlah indikasi kejanggalan.
BPK pun menjabarkan sejumlah kejanggalan itu, seperti kurangnya kajian risiko dan analisis cost-benefit, di mana pemberian uang muka tersebut tidak didasarkan pada kajian tim internal atas mitigasi risiko dan analisis cost-benefit yang memadai.
Selain itu adanya jaminan yang tidak memadai, dalam dokumen parent company guarantee tidak dieksekusi oleh PGN, dan nilai jaminan fidusia berupa jaringan pipa PT BIG senilai Rp 16,79 miliar jauh lebih kecil dibandingkan nilai uang muka yang diberikan.
Kemudian ditemukan pelanggaran tata kelola perusahaan, dimana diindikasikan adanya pelanggaran tata kelola perusahaan dalam proses pengadaan dan pemberian uang muka proyek tersebut.
BPK juga menemukan adanya indikasi kerugian negara dalam proyek pembangunan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Lampung yang dilakukan PGN.
Dalam temuan BPK itu dikatakan pengoperasian FSRU Lampung belum optimal hal ini mengakibatkan PGN mengalami kerugian hingga USD 131,27 juta atau sekitar Rp 1,97 triliun pada periode 2020-2022.
BPK juga menemukan adanya kelemahan dalam klausul kontrak dimana kelemahan dalam klausul kontrak proyek FSRU Lampung yang berpotensi merugikan PGN.
Selain itu BPK juga menilai para Direksi PGN belum memitigasi risiko atas proyek ini dengan tidak melakukan langkah-langkah yang memadai untuk memitigasi risiko kerugian dalam proyek FSRU Lampung.
BPK juga menemukan adanya dugaan potrensi kerugian negara dalam akuisisi tiga wilayah kerja (WK) oleh PT Saka Energi Indonesia (SEI), anak usaha PT PGN (Persero) Tbk, tidak sesuai dengan proses bisnis komersial Saka.
Menurut laporan BPK, SEI mengakuisisi tiga WK Migas, yaitu Muara Enim, Pamaran, dan Ketapang, dengan nilai total mencapai USD 56,6 juta. Namun, BPK menemukan bahwa harga akuisisi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai wajarnya.
BPK juga menemukan bahwa proses akuisisi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Saka. Salah satu contohnya adalah SEI tidak melakukan due diligence (uji kelayakan) yang memadai terhadap WK yang diakuisisi.
Sebelumnya KPK sedang mengusut salah satu dugaan kasus korupsi PGN diatas yakni jual-beli gas pada PGN. Kasus itu diduga merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Pihak KPK mengatakan, kasus itu bermula dari audit tujuan tertentu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kegiatan bisnis PGN tersebut.
Kini, kasus itu sudah naik ke tahap penyidikan. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bahwa penyidik mengusut dugaan korupsi pada kegiatan pengadaan gas di PGN.
Dia memastikan lembaganya akan mengumumkan pihak-pihak yang ditetapkan tersangka.
"Itu [kasus PGN] kalau enggak salah terkait dengan pengadaan gas atau jual beli gas. Nantilah penyidik atau kalau sudah ada tersangka pasti akan disampaikan," jelasnya kepada wartawan, dikutip Jumat (24/5/2024).
Suara.com sendiri sudah menghubungi PGN sendiri untuk meminta penjelasan terkait dugaan kasus ini, namun hingga berita diturunkan tak ada satupun balasan yang diberikan pihak PGN.