Berkaca Kasus Mantan Bos Pertamina, Pakar Nilai Kebijakan Direksi yang Direstui Komisaris Tak Bisa Dipidana

Achmad Fauzi Suara.Com
Rabu, 22 Mei 2024 | 15:09 WIB
Berkaca Kasus Mantan Bos Pertamina, Pakar Nilai Kebijakan Direksi yang Direstui Komisaris Tak Bisa Dipidana
Tersangka mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina Karen Agustiawan (tengah) digiring ke mobil tahanan usai dihadirkan dalam konferensi pers pengumuman penahanan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (19/9/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan menjadi lampu merah para direksi dalam mengambil keputusan. Apalagi, setelah adanya Kesaksian Wakil Presiden RI ke 10 dan 12 Jusuf Kalla dalam persidangan kasus itu yang heran dengan penetapan pidana dalam kesalahan strategi bisnis.

Pakar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Fully Handayani Ridwan menilai, ada berbagai faktor yang menentukan kerugian dalam korporasi, bukan hanya semata-mata kesalahan strategi.

"Direksi boleh mengambil keputusan karena korporasi ada tiga bagian, yakni direksi, komisaris dan pemegang saham. Sepanjang direksi diketahui dan disetujui oleh dua organ lainnya maka itu bukan pidana jika melihat dari sisi hukum korporasi atau perseroan terbatas," ujar Fully, yang dikutip Rabu (22/5/2024).

Menurut dia, jika direksi terkena hukuman karena kesalahan dalam keputusan bisnisnya, maka bakal semakin banyak direksi perusahaan yang terseret kasus pidana.

Baca Juga: Kapal Pertamina Trans Kontinental Resmi Beroperasi di Perairan Internasional

Pasalnya, dalam Business Judgement Rules (BJR) menyebutkan bahwa kesalahan dalam berbisnis bisa terjadi tanpa adanya niat untuk memperkaya diri.

"Sepanjang direksi mengambil keputusan disetujui komisaris dan pemegang saham, maka tindakannya ngga bisa dipidana, lain halnya jika direksi melakukan korupsi penggelapan itu pidana, tapi kalau keperluan dengan perseroan tanggung jawab bersama-sama pemegang saham, direksi dan komisaris," jelasFully.

Karenanya penegak hukum tidak bisa serta merta menerapkan pidana pada kasus BJR, terutama setelah adanya Surat edaran Mahkamah Agung nomor 10/2020. Selain itu aturan juga mengatur pada pada UU Perseroan Terbatas (PT).

"Ada di UU PT tersirat memang tidak secara tegas disampaikan direksi punya tanggungjawab sebesar apa yang dilakukan, tapi BJR sendiri baru ada di surat edaran mahkamah agung (Sema) 10/2020," imbuh Fully.

Sebelumnya, dalam persidangan Pada kasus Liquefied Natural Gas (LNG), JK mengaku bingung lantaran mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan ditetapkan sebagai terdakwa karena menjalankan tugas.

Baca Juga: Meditran SX Plus 15W-40 API CI-4 Kemasan 1L Hadir Lewat INAPA 2024

"Saya juga bingung kenapa dia jadi terdakwa, bingung karena dia menjalankan tugasnya," kata JK.
Ia berpandangan akan berbahaya jika BUMN yang rugi harus dihukum. "Kalau suatu kebijakan bisnis, langkah bisnis rugi cuma dua kemungkinannya, dia untung, dan rugi. Kalau semua perusahaan rugi, maka seluruh BUMN karya harus dihukum, ini bahayanya, kalau satu perusahaan rugi harus dihukum, maka semua perusahaan negara harus dihukum, dan itu akan menghancurkan sistem," ujar JK.

Selain kasus dugaan korupsi LNG Pertamina, dalam beberapa waktu terakhir telah terjadi pemidanaan pada beberapa orang yang dianggap gagal dalam keputusan bisnis. Pada 2023 lalu, majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menetapkan putusan vonis dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO/ minyak sawit mentah) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022.

Putusan itu menghukum beberapa pihak swasta seperti Eks General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang dikenakan hukuman 1 tahun yang kemudian diperberat oleh Mahkamah Agung menjadi 6 tahun. Kemudian Eks Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor divonis 6 tahun penjara.

Lalu Eks Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley Ma juga dikenakan pidana menjadi 5 tahun. Pihak pemerintah yakni Eks Dirjen Perdaglu Indrasari Wisnu Wardhana juga divonis selama 8 tahun, serta bekas tim asistensi Menko Ekonomi Lin Che Wei divonis 7 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.

Terbaru, BJR juga terjadi pada BJR PT Timah yang menjalin kerjasama dengan swasta tahun 2018-2020. Kerjasama ini mencapai target yaitu meningkatkan produksi PT Timah, sehingga pada tahun 2019 memecahkan rekor produksi tertinggi selama beberapa dekade yakni 82.460 ton bijih timah dan 76.839 metrik ton logam timah. Setelah tidak melakukan kerjasama lagi dengan swasta yaitu 2021, 2022, 2023, malah produksi semakin menurun.

Kejagung telah menetapkan 16 tersangka dalam kasus korupsi komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Hingga saat ini, total tersangka menjadi 21 orang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI