Suara.com - Presiden Jokowi bersama jajarannya ramai-ramai membanggakan pertumbuhan ekonomi RI kuartal I 2024 yang mencapai di atas 5 persen atau tepatnya 5,1 persen.
Namun, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan yang terjadi justru sebaliknya, ekonomi sedang dalam kondisi rapuh dan berada di titik nadir.
“Makanya saya memberikan judul bahwa Indonesia saat ini sedang di titik nadir, dan perlu upaya yang luar biasa serius untuk mengeluarkan Indonesia dari titik nadir," ujar Wijayanto dalam diskusi virtual berjudul 'Koalisi Besar Bisa Menuju Demagog Otoriter', ditulis Selasa (21/ 5).
Pria yang juga Co-Founder & Advisor Paramadina Public Policy Institute itu mengatakan pemerintah selalu melakukan pengungkapan ke publik tentang hal-hal baik. Menurutnya, ini bagai sisi mata uang—hanya satu sisi baik yang ditampilkan, padahal nyatanya ada sisi buruk yang disembunyikan.
Baca Juga: Meninggalnya Presiden Iran Bisa Bikin Harga Kebutuhan Naik, Jokowi Mulai Was-was
Wijayanto menyebut setidaknya ada empat alasan utama perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Pertama, terlalu bergantungnya Indonesia kepada sumber daya alam dalam urusan ekspor.
Padahal, negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Kamboja sudah mulai mendiversifikasi ekspor bahkan mengekspor teknologi-teknologi canggih.
"Kita justru berjalan mundur, lebih banyak memproduksi barang-barang mentah, komoditas, sumber daya alam. 38 persen ekspor kita itu enam komoditas, yakni migas (minyak bumi dan gas), CPO (minyak sawit mentah), batu bara, tembaga, dan nikel," terangnya.
Kedua, walau pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2024 termasuk tinggi di atas 5 persen, menurutnya itu karena faktor bulan Ramadan dan Pemilu.
Baca Juga: Beda Kelas Gibran dan Bobby Nasution: Anak-Mantu Jokowi Kompak 'Ngekor' Prabowo
Ia meyakini jikalau faktor tersebut dikeluarkan dari PDB, maka PDB Indonesia akan rendah.
"Buktinya banyak pengangguran, banyak layoff (pemutusan hubungan kerja), pendapatan pajak pertambahan nilai (PPN) itu relatif lebih rendah daripada tahun yang lalu," ucapnya.
Lebih lanjut, Wijayanto berujar pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif bagus juga karena injeksi steroid berupa utang luar negeri.
"Kita ini seperti anak kos-kosan yang hidup mewah, tapi setiap hari kita kasbon, berutang untuk mempertahankan hidup mewah. Hal ini tidak bisa berlanjut dalam waktu yang lama," jelasnya.
Perihal utang ini juga menyangkut alasan ketiga, yakni dari sisi fiskal Indonesia yang semakin tergantung pada utang. Ia menilai saat ini Indonesia untuk membayar cicilan bunga utang bisa menyedot 14 persen dari total APBN.
"Pengeluaran kita untuk membayar bunga itu dua kali lebih besar daripada capital expenditure (belanja modal), dan persentase untuk membayar bunga ini akan semakin lama semakin meningkat," tuturnya
Alasan keempat, rupiah selalu dinarasikan kuat oleh pemerintah, padahal yang terjadi justru melemah.
Faktanya, kata dia, dalam satu tahun terakhir rupiah terus melemah terhadap 80 persen mata uang dunia. Dari 167 mata uang dunia, rupiah melemah terhadap 125 mata uang dunia.
Selain menyoroti ekonomi Indonesia, Wijayanto turut menilai sektor bisnis di Indonesia saat ini berjalan tidak adil.
Dahulu perusahaan-perusahaan bersaing secara efisien untuk menang, sekarang koneksi yang jadi faktor penting untuk memenangkan kompetisi.
“Di sektor bisnis, dulu dikenal persaingan dan efisiensi lah yang menentukan kemenangan, tapi saat ini koneksi telah menggantikan efisiensi. Proyek-proyek besar dilakukan melalui koneksi, tidak lagi tender terbuka,” imbuhnya.