Suara.com - Kecelakaan bus pariwisata yang memakan korban jiwa kembali terjadi pada Sabtu (11/5) sore. Bus dengan label “Putera Fajar” yang mengangkut puluhan siswa dan guru SMK Lingga Kencana tergelincir saat melintas di Jalan Raya Kampung Palasari, Ciater, Subang.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, memaparkan data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terkait beberapa masalah krusial yang menyebabkan kecelakaan bus kerap terjadi di Indonesia.
Pertama, jumlah sopir bus dan truk di Indonesia mengalami penurunan, dan rasio dengan jumlah kendaraan yang beroperasi sudah masuk dalam zona berbahaya (danger).
Kedua, kemampuan sopir dalam mengoperasikan kendaraan di jalan di Indonesia dengan memanfaatkan teknologi yang ada pada bus dan truk, serta kemampuan melakukan pendeteksian dini atas kondisi kendaraan yang mengalami bad condition sangat rendah.
Baca Juga: Banyak Bus Tak Layak Jalan, Pengusaha PO Sebut Imbas Pengawasan Pemerintah Tumpul
Ketiga, pembagian waktu kerja, waktu istirahat, waktu libur, dan tempat istirahat sopir bus dan truk di Indonesia sangat buruk. Tidak ada regulasi yang melindungi sopir, sehingga performance mereka berisiko tinggi terhadap kelelahan dan bisa berujung pada micro sleep.
“Ketiga masalah di atas sampai saat ini belum sistem mitigasi yang terstruktur dan sistematis, sehingga kedepan kecelakaan bus dan truk di Indonesia bisa akan terus terjadi. Bahkan cenderung akan mengalami peningkatan karena jika tidak ditangani hal ini akan semakin memburuk," ujar Djoko dikutip Senin (13/5).
Djoko menambahkan bahwa kecelakaan dengan penyebab rem blong pada bus dan truk di Indonesia hampir semuanya terjadi ketika berada di jalan menurun.
Hampir semuanya menggunakan gigi tinggi dan tidak memanfaatkan engine brake dan exhaust brake kendaraan, sehingga memicu rem blong.
Djoko juga mengatakan bahwa banyak perusahaan bus tidak tertib administrasi. Maka menurutnya, pengawasan terhadap bus pariwisata perlu diperketat dan perlu adanya sanksi bagi perusahaan bus yang lalai.
Baca Juga: Seluruh Korban Kecelakan Bus di Subang Dapat Santunan, Segini Nilainya
“Banyak perusahaan tidak tertib administrasi, padahal sekarang sudah dipermudah, pendaftaran dengan sistem online. Pengawasan terhadap bus pariwisata perlu diperketat dan harus ada sanksi bagi perusahaan bus yang lalai terhadap tertib administrasi,” ujar Djoko.
Djoko mengatakan bahwa sangat jarang ada perusahaan bus yang diperkarakan hingga ke pengadilan. Sehingga, kejadian serupa dengan penyebab yang sama selalu terulang kembali dan sopir selalu dijadikan tumbal di setiap kecelakaan bus.
Oleh karena itu, Djoko meminta polisi untuk berani memperkarakan pengusaha bus, termasuk pelaku usaha lama. Polisi juga harus tegas dalam menindak panitia penyelenggara atau event organizer yang menawarkan tarif bus murah jika terbukti bermasalah.
"Data STNK, KIR dan Perizinan sudah seharusnya dikolaborasikan dan diintegrasikan menjadi satu kesatuan sebagai alat pengawasan secara administrasi," tuturnya.
Lebih lanjut, Djoko menerangkan bahwa hampir semua bus pariwisata yang terlibat kecelakaan lalu lintas adalah armada bekas angkutan kendaraan antar provinsi (AKAP) atau angkutan kota dalam provinsi (AKDP).
Dalam kasus saat ini pun sama, korban jiwa timbul karena tidak adanya sabuk keselamatan dan body bus yang keropos sehingga saat kecelakaan terjadi deformasi yang membuat korban tergencet.
Sebenarnya pemerintah sendiri telah membuat aturan batas usia kendaraan bus, tetapi penerapannya masih dianggap setengah hati.
"Bus yang lama tidak di-scrapping, tetapi dijual kembali sebagai kendaraan umum, karena masih pelat kuning sehingga bisa di KIR tapi tidak memiliki izin. Keadaan ini terus terjadi dan tidak bisa dikendalikan," jelasnya.