Suara.com - Dalam pembukaan sesi Side Event di United Nation Forum on Forest (UNFF) atau Forum PBB untuk Kehutanan ke-19 di New York, Amerika Serikat, Kamis (9/5/2024), Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Alue Dohong menyampaikan soal hutan Indonesia.
Ia menyatakan pentingnya akurasi pemantauan hutan dalam pengambilan sebuah kebijakan, apalagi yang berdampak luas secara global seperti Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation-free Regulation/EUDR).
Dikutip dari kantor berita Antara, EUDR, yang hanya berbasis pada parameter makro dan umum seharusnya mempertimbangkan parameter yang lebih detil dan perlunya pengecekan lapangan.
“Data dan informasi yang akurat sangat penting, khususnya terkait kebijakan yang berdampak pada ekonomi global. Demi akurasi, pemantauan hutan perlu memperhatikan parameter yang lebih rinci dan pengecekan lapangan (ground check)," jelas Alue Dohong sebagaimana disebutkan dalam rilis resmi di Jakarta, Jumat (10/5/2024).
Baca Juga: Famtrip Paradise of The East, Wisata Alam dan Budaya Lengkap IKN
“Hal ini bisa kita kembangkan lebih jauh melalui sistem pemantauan hutan yang kuat,” tandasnya.
Agus Justianto, Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menambahkan pemantauan hutan menggunakan teknologi penginderaan jauh perlu disempurnakan dengan pengecekan lapangan.
Tujuannya memastikan kondisi sesungguhnya tutupan lahan di lapangan, juga untuk memperbaiki dan meningkatkan akurasi data tutupan hutan.
Pengecekan lapangan diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi baru di lapangan yang tidak terdeteksi jika hanya menggunakan citra satelit penginderaan jauh.
Indonesia sendiri memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dalam pemantauan sumber daya hutan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari pada level manajemen hutan.
Baca Juga: Kunjungan Konjen India ke Kota Makassar Buka Peluang Bisnis Industri
Bahkan dimanfaatkan lewat penggunaan citra satelit beresolusi tinggi.
Indonesia telah membagi tutupan lahan ke dalam 23 kelas berdasarkan kondisi lapangan, termasuk area tutupan hutan dan area tutupan non hutan.
"Seluruh data tutupan lahan menjadi pertimbangan utama dalam merumuskan kebijakan untuk mendukung praktik pengelolaan hutan lestari," ungkap Agus Justianto.
Saat ini, seluruh data spasial pemantauan hutan Indonesia tersaji secara akurat melalui Sistem Monitoring Hutan Nasional (SIMONTANA).
Melalui SIMONTANA, Indonesia bisa menunjukkan kepada dunia data laju deforestasi secara ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Profesor Matthew Hansen, Guru Besar Department of Geographical Sciences, University of Maryland, Amerika Serikat, sekaligus tokoh pemantauan hutan global mengungkapkan hasil pemantauan melalui platform Global Forest Watch berbasis penginderaan jauh menunjukkan keberhasilan Indonesia membalik tren deforestasi.
Yaitu ketika negara lain seperti Brasil, Republik Demokratik Kongo, dan Bolivia terus mengalami peningkatan deforestasi.
Bahkan, pemantauan dengan menggunakan standar IPCC menunjukkan pengurangan laju deforestasi Indonesia secara dramatis.
“Dalam tujuh tahun terakhir, laju deforestasi Indonesia berkurang hampir sepertiganya,” ungkap Profesor Matthew Hansen.
Ia sepakat tentang pentingnya peningkatan akurasi dan mengurangi bias dalam pemantauan tutupan hutan, termasuk tentang pentingnya uji lapangan. Dia juga memuji implementasi SIMONTANA yang didukung ahli di bidangnya yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengatakan, pelaku usaha pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) melakukan pemantauan sumber daya hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di antaranya untuk tata batas, monitoring Rencana Kerja Tahunan, dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
"Keterlibatan multi pihak dalam pemantauan hutan, termasuk anggota APHI, telah berkontribusi pada penurunan laju deforestasi di Indonesia," jelasnya.