Suara.com - PT Sumber Energi Surya Nusantara atau SESNA adalah perintis pengembang pembangkit listrik tenaga surya lokal di Indonesia yang bertekad berdiri di garis depan revolusi energi terbarukan.
Dikutip kantor berita Antara dari rilis resmi, dalam rekam jejaknya, SESNA berhasil menavigasi dan menaklukkan beragam sektor pasar dengan mengambil peran sebagai pengembang, investor, serta pemilik aset.
Selain itu, SESNA sudah melakukan instalasi lebih dari 17 megawatt peak (MWp) proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di hampir seluruh wilayah Indonesia, dan lebih dari 12,4 MWp proyek PLTS atap telah resmi berkontrak, serta sedang dalam masa pembangunan.
Kemudian, SESNA juga akan menghadirkan PLTS atau solar farm di Indonesia dengan kapasitas dihasilkan mencapai 255 MWp.
Kekinian, SESNA menyampaikan tentang pengembangan industri nikel berkelanjutan yang menghasilkan baterai secara langsung dapat mendukung pengembangan ekosistem kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV) di Indonesia.
"Indonesia adalah the largest nickel producer di dunia dan the lowest in term of pricing (terendah dalam penetapan harga). Sehingga lucu bila nikel kita sudah the largest akan tetapi baterai EV mahal," ungkap Rico Syah Alam, Chief Executive Officer (CEO) SESNA di Jakarta, Jumat (10/5/2924).
Ia menilai sangat wajar apabila harga baterai kendaraan listrik di Indonesia masih mahal, karena baterai yang menjadi pemasok energi EV masih didapatkan melalui mekanisme impor, seperti dari Tiongkok.
Bila industri nikel di Indonesia mengusung prinsip keberlanjutan, hal ini turut mendukung keinginan pemerintah untuk menambah tingkat komponen lokal dalam kendaraan listrik.
"Dengan masuknya investasi dari luar mau pun kolaborasi dengan penanaman modal dalam negeri terkait penanaman modal di pabrik baterai, saya rasa akan menjadi salah satu faktor yang mendorong industri EV itu sendiri," jelas Rico Syah Alam.
Selain mendorong pengembangan industri nikel berkelanjutan dengan memberi berbagai keringanan pajak hingga insentif lainnya, langkah pemerintah melarang ekspor bijih nikel murni dan mewajibkan industri untuk mendirikan smelter adalah tepat.
Rico Syah Alam menuturkan, kebijakan yang baik ini bisa dibarengi dengan regulasi untuk melarang impor hasil dari smelter nikel, dan meminta industri membangun pabrik baterainya di Indonesia.
Baca Juga: ESDM-Eramet Jalin Kemitraan, Lengkapi Rantai Pasokan Material Baterai EV Indonesia?