Suara.com - Warung kelontong Madura atau kerap disingkat warung Madura tengah ramai dibicarakan karena diisukan mendapat larangan untuk buka 24 jam di Bali.
Larangan tersebut dikeluarkan karena alasan keamanan dan penertiban administrasi kependudukan. Ada isu pula bahwa banyak minimarket yang merasa tersaingi dengan hadirnya warung Madura yang beroperasi hingga 24 jam.
Namun, isu itu telah dibantah langsung Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki yang mengatakan tidak ada rencana, arahan, ataupun kebijakan kementeriannya yang membatasi jam beroperasi warung ataupun toko kelontong milik rakyat tersebut.
Warung Madura memang memiliki ciri khas membuka warungnya seharian penuh dan nyaris tak pernah tutup. Menjadi acuan masyarakat untuk menemukan berbagai barang kebutuhan dengan harga terjangkau.
Baca Juga: MenKopUKM Tegaskan Tidak Ada Kebijakan Batasi Jam Operasional Warung Rakyat
Lantas, bagaimana sih asal-usul warung ini? Kenapa bisa terkenal dan menjamur di Indonesia serta membuka usahanya 24 jam?
Asal-usul warung Madura
Sejak dahulu, orang Madura sudah memiliki jiwa bisnis. Tak hanya dilakukan di daerahnya, bisnis turut dilakukan di luar pulau dan salah satunya di kota Jakarta.
Seperti yang tertulis dalam Jurnal Implementasi Manajemen dan Kewirausahaan (IMKA) bertajuk “Meneropong collective entrepreneurship dan manajemen strategis pada Toko/Warung Madura”, banyak orang Madura yang melakukan perantauan ke Jakarta untuk membuka toko kelontong yang menjadi cikal bakal adanya warung Madura.
Warung Madura mulai menjamur di sekitaran Jakarta pada akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Para pemilik warung kala itu banyak berasal dari Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Pulau Madura.
Baca Juga: Ternyata Tak Ada Aturan yang Dilanggar Warung Madura Buka 24 Jam
Dalam jurnal, tertulis bahwa banyak orang Madura yang tertarik merantau karena melihat kesuksesan kenalan, teman, atau saudara mereka ketika membuka usaha warung. Hal ini menjadi dorongan utama untuk warga di sana turut merantau dan mencoba peruntungan di kota besar.
Selain itu, prinsip “Tretan dhibi” yang berarti “saudara sendiri” juga jadi faktor yang menguatkan mereka untuk membuka usaha. Prinsip ini mewajibkan para perantau dari Madura untuk saling membantu antar sesama etnis Madura ketika dalam perantauan.
Contoh kegiatan saling bantu yang mereka lakukan ialah membuat etalase pada supplier yang membuatkan etalase pemilik warung Madura lainnya, membeli bensin dan barang-barang yang dijual dari agen yang sama, dan sebagainya.
Faktor jalur distribusi yang efisien dan jaringan yang kuat dengan pemasok inilah yang membuat harga barang yang dijual di warung Madura lebih murah.
Alasan buka 24 Jam
Salah satu ciri khas dari warung Madura adalah toko yang terus buka 24 jam. Hal ini bukan dilakukan tanpa sengaja.
Kebijakan buka 24 jam ini sejalan dengan prinsip “Tutupnya kalau hari kiamat, tapi buka setengah hari” yang meskipun terkesan sebagai suatu candaan, namun sebenarnya menunjukkan budaya dedikasi kerja mereka.
Lebih lanjut, kebijakan ini juga merupakan cara warung Madura membantu masyarakat yang membutuhkan membeli barang tertentu ketika toko lain belum buka.
“Tujuannya untuk menolong orang yang kebetulan membutuhkan. Misalnya ketika tengah malam atau ketika hendak berangkat ke kantor kehabisan bensin,” tulis peneliti dalam jurnal ilmiah.
Walau saat ini ada begitu banyak toko ritel dengan berbagai merek beserta hadirnya toko online, tak langsung membuat warung Madura redup begitu saja. Warung Madura tetap eksis seiring dengan perkembangan zaman, membantu masyarakat yang membutuhkan.
Semangat pantang menyerah dan giat bekerja yang ditunjukkan orang Madura dalam mengelola usaha berbasis kekerabatan inilah yang membuat usaha warung Madura tak pernah padam dan saat ini sudah menyebar hampir di seluruh daerah Indonesia.