Suara.com - Akrab dengan produk mobil listrik atau Electric Vehicle (EV) buatan Tiongkok yang berseliweran di jalan raya negeri kita? Beragam brand atau merek, memiliki kekhasan sendiri, serta meraih pasar masing-masing.
Bisa berjaya namun tidak terjadi secara instan atau serta-merta.
Dikutip dari The Conversation, pernah terjadi masa di mana EV buatan Tiongkok banyak menumpuk di pelabuhan-pelabuhan Eropa.
Perlu sampai 18 bulan di tempat parkir pelabuhan karena distributor mengalami kesulitan untuk mengirimkannya kepada konsumen.
Di sisi lain, industri otomotif Tiongkok mengalami revolusi dalam satu dekade terakhir. Mulai dari memproduksi mobil tiruan dari negara Barat sampai membuat mobil yang setara dengan produk terbaik di dunia.
Sebagai negara manufaktur terbesar di dunia, Tiongkok sudah pasti memproduksi EV dalam jumlah besar.
Kemudian dalam skala global, Tiongkok adalah negara yang memiliki pasar EV terbesar. Selain produsen negeri sendiri yang bertebaran, sederet brand luar negeri, antara lain Tesla, sampai Ford membuka pabrik di sini.
Kembali kepada EV Tiongkok, produk mendapat ulasan positif. Mobil-mobil tenaga listrik ini disebutkan menyamai, atau bahkan melampaui brand terkenal Eropa dalam hal jangkauan, kualitas, dan teknologi.
Akan tetapi, memasuki pasar yang sudah mapan sebagai penantang atau kompetitor adalah suatu hal rumit.
Baca Juga: Penurunan Pengiriman EV Tesla Picu Reaksi Investor Terhadap Elon Musk
Para produsen Tiongkok harus menghadapi kekhawatiran pembeli, kurangnya citra merek, proteksionisme perdagangan, sampai cepatnya situasi ketinggalan zaman atau mengejar fitur paling mutakhir.
Program ekspansi otomotif Tiongkok sejalan dengan langkah yang dilakukan Jepang pada 1960-an dan 1970-an.
Pada saat itu, produk yang berasal dari Jepang patut dipuji tetapi tidak memiliki kemahiran, desain, dan umur panjang dibandingkan produk Barat.
Mobil Jepang dianggap bersuara nyaring, kurang bertenaga, dan rentan berkarat, serta terlihat sangat generik dibandingkan dengan desain bergaya Eropa.
Kemudian, sentimen keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia Kedua juga masih segar di benak para pembeli (terutama Amerika), yang sulit memaafkan negara yang melancarkan serangan kepada Pearl Harbor.
Akan tetapi, dengan terus berfokus pada produk yang dapat diandalkan, relatif murah, dan semakin bergaya, Jepang perlahan-lahan mengubah hal ini menjadi pembangkit tenaga otomotif pada 1990-an dan 2000-an.
Senada, awalnya Tiongkok dipandang dengan penuh kecurigaan oleh banyak negara Barat. Apalagi mereka punya “warisan” memproduksi tiruan mobil-mobil Eropa, baik yang legal mau pun ilegal.
Nah, dengan pembelajaran dari Jepang, mobil-mobil Tiongkok dengan cepat maju untuk menyamai dan melampaui produk yang telah eksis.
Pembelian strategis atas merek-merek seperti Volvo, Lotus, dan MG juga telah memberikan arti bagi merek yang dihormati di Tiongkok. Serta lebih penting, memiliki pengetahuan teknik terbaik di dunia.
Toh, setelah membeli merek-merek Barat, produsen mobil Tiongkok terbukti belum mampu membeli loyalitas dari pelanggan merek-merek yang sudah ada seperti BMW, Porsche, Ferrari, serta Ford.
Bagi para pembeli ini, sejarah merek dalam hal keandalan yang diketahui dan bahkan hal-hal seperti kesuksesan motor sport adalah sesuatu yang harus dibangun oleh pabrikan Tiongkok, seperti Jepang, seiring berjalannya waktu.
Mesti pula diperhatikan, kurangnya jaringan dealer yang mapan di luar Tiongkok sebagaimana produsen Tiongkok berjuang melawan persaingan yang sudah ada.
Skala ekonomi, jaringan pelayaran yang sangat baik, dan tenaga kerja yang murah membuat mobil Tiongkok lebih murah baik untuk dibuat maupun dibeli. Namun, di banyak negara produk ini dikenakan tarif impor yang tinggi.
Uni Eropa saat ini mengenakan tarif impor sebesar 10 persen untuk setiap mobil yang masuk.
Dan di Amerika Serikat, impor mobil dari Tiongkok dikenakan tarif sebesar 27,5 persen. Tarif ini mungkin akan terus meningkat.
Kekinian, Uni Eropa sedang melakukan penyelidikan apakah tarifnya terlalu rendah.
Jika hal ini selesai pada akhir tahun ini, bea masuk yang lebih tinggi akan diterapkan secara retrospektif pada mobil impor.
Produsen mobil Tiongkok telah memperhatikan hal ini. Mereka mengeluarkan model-model baru sekitar 30 persen lebih cepat dibandingkan kebanyakan negara lain.
Banyak dari faktor-faktor ini yang dapat diperbaiki. Mereka juga lebih banyak berinteraksi dengan pembeli swasta dibandingkan dengan pembeli bisnis, yang lebih mementingkan biaya.
Produsen Tiongkok disarankan untuk berusaha lebih keras memasuki pasar ini. Di Inggris, pasar armada kapal jauh lebih besar dibandingkan pasar swasta, dan situasi serupa terjadi di Eropa.