Suara.com - Ketegangan politik antara Iran dan Israel yang ditandai dengan serangan pesawat tempur dan drone--disebutkan terbesar sepanjang sejarah sampai saat ini--dari pihak Iran memberikan tekanan terhadap Selat Hormuz.
Dirangkum dari berbagai sumber seputar perekonomian dan kajian minyak bumi, disebutkan bahwa bakal terjadi kemacetan geografis yang berpotensi berlanjut terhadap kondisi ekonomi menyusul serangan udara ini.
Pasalnya, Selat Hormuz adalah jalur air sempit antara Iran dan Oman yang menjadi satu-satunya titik masuk atau keluar Teluk Persia. Sebagian besar distribusi minyak dunia diangkut lewat selat itu. Atau dengan kata lain, Selat Hormuz memainkan peran penting dalam perdagangan minyak global.
Potensi gangguan apa pun di kawasan ini, karena konflik Iran-Israel atau alasan lainnya, berpotensi menimbulkan konsekuensi ekonomi yang signifikan terhadap dampak harga minyak global. Bahkan mampu mempengaruhi perekonomian di seluruh dunia.
Baca Juga: Perang Iran-Israel Pecah! BEI Ungkap Dampak Buruk ke Saham RI
Untuk transportasi minyak sendiri, sekira 20 persen pasokan minyak dunia melewati Selat Hormuz setiap hari. Produk dikapalkan dari berbagai negara penghasil minyak besar. Antara lain Arab Saudi, Iran, Irak, dan Uni Emirat Arab (UAE).
Dari kejadian serangan Iran terhadap Israel, disebutkan mampu menyebabkan lonjakan harga minyak karena terbatasnya pasokan dari negara-negara Teluk atau Gulf Countries tadi.
Kemudian, harga minyak yang menjadi lebih tinggi tadi mampu menimbulkan efek domino terhadap perekonomian global. Biaya transportasi mengalami peningkatan, sehingga berdampak pada harga barang dan jasa di seluruh dunia. Selain itu, negara-negara yang bergantung pada impor minyak mungkin menghadapi kesulitan ekonomi.
Dikutip dari kajian International Monetary Fund (IMF) bertajuk "Dampak Guncangan Harga Minyak terhadap Pertumbuhan Global" dikemukakan contoh Perang Iran-Irak (1980-1988) yang menyebabkan gangguan signifikan terhadap pengiriman minyak, dengan harga yang naik dua kali lipat.
Yaitu dari 34 dolar Amerika Serikat (AS) per barel pada 1979 menjadi 39,50 dolar AS pada 1980 dan mencapai puncaknya di atas 41 dolar AS per barel pada 1981. Dengan catatan angka mesti disesuaikan dengan inflasi terkini.
Baca Juga: Iran Vs Israel Panas! Pelaku Pasar Panik Hingga Buat IHSG Ambruk
Dampaknya, negara-negara yang bergantung kepada impor minyak mungkin menghadapi kesulitan ekonomi karena biaya energi yang lebih tinggi.
Sedangkan negara-negara di Timur Tengah sebagai pihak pengekspor juga mengalami penurunan pendapatan ekspor. Kedua belah pihak, baik impor mau pun ekspor akan ditagih biaya pengiriman dan penerimaan yang lebih tinggi untuk minyak.
Sebagai alternatif tidak melewati Selat Hormuz, wacana pengiriman minyak antara lain adalah:
Lewat saluran pipa, dengan cara membangun jaringan pipa dari berbagai negara penghasil minyak di Timur Tengah ke negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok dan India.
Jaringan pipa bisa menghubungkan Irak ke Laut Mediterania dan Kazakhstan ke Tiongkok, menunjukkan kelayakan pendekatan ini.
Jalur pipa ke arah Barat, dengan cara memperluas jaringan pipa yang sudah ada atau membangun jaringan pipa baru dari Timur Tengah hingga pantai barat Afrika sehingga memungkinkan minyak diangkut ke arah barat melintasi Samudera Atlantik.
Akan tetapi sederet perencanaan pemasangan pipa ini memerlukan investasi infrastruktur yang besar.
Alternatif lainnya adalah pengiriman melintasi Terusan Suez dan Laut Merah.
Meski pun bukan rute baru, peningkatan kapasitas dan efisiensi Terusan Suez memungkinkan lebih banyak minyak diangkut dari Timur Tengah ke Eropa tanpa memerlukan Selat Hormuz.
Sedangkan pembangunan terminal minyak khusus di sepanjang pantai Laut Merah dapat memfasilitasi pemindahan minyak dari jaringan pipa atau kapal tanker ke kapal yang lebih besar untuk diangkut sampai ujung selatan Afrika.
Apabila jalur laut diganti total dengan cara overland, maka bisa dicoba teknologi kereta api jarak jauh. Trans Eurasia, dari Eropa menuju Asia berpotensi menghubungkan ladang minyak ke pasar Eropa atau Asia tanpa melibatkan Selat Hormuz sama sekali.
Sedangkan langkah yang bukan baru akan tetapi membuka peluang besar adalah mempercepat langkah menuju kemandirian produk kendaraan bermotor tanpa melibatkan BBM. Dikenal sebagai Electric Vehicle (EV), juga ada sederet produk tenaga alternatif untuk keperluan sehari-hari lainnya, mulai industri hingga rumah tangga. Antara lain solar cell atau tenaga surya, dan angin.
Di Indonesia sendiri, Tutuka Ariadji, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Selasa (16/4/2024) sebagaimana dikutip dari kantor berita Antara mengungkapkan sekilas hasil kajian simulasi Kementerian ESDM bersama Pertamina.
Yaitu tentang dampak konflik Iran-Israel yang mencakup berbagai parameter seperti kurs, ICP (Indonesian Crude Oil Price), atau harga patokan minyak mentah Indonesia, serta faktor-faktor lainnya.
"Pada intinya, (hasil kajian menunjukkan) peran dari Selat Hormuz sangat penting. (Saat ini) belum ada permasalahan, tapi kalau terjadi permasalahan itu (harus diantisipasi)," ujar Tutuka Ariadji tentang dampak Selat Hormuz bagi pengadaan BBM di Tanah Air.