Suara.com - Pada tanggal 4 Oktober 2023, kita masih ingat platform TikTok Shop sempat ditutup dengan alasan tidak memiliki izin untuk beroperasi sebagai e-commerce.
Seiring dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Permendag 31/2023), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menegaskan “Social Commerce itu hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa, tidak boleh transaksi langsung, tidak boleh lagi, dia hanya boleh promosi” mengutip dari Antara, Senin (25/9/2023).
Pada perkembangannya, setelah akuisisi TikTok terhadap Tokopedia, TikTok Shop kembali hadir dan bereformasi menjadi Shop Tokopedia, dengan tampilan interface pengguna menunjukkan merek Tokopedia dan proses pembayaran oleh Tokopedia yang pada esensinya tetap berada dalam aplikasi (sistem elektronik) TikTok.
Merujuk pada laman kompas.com tanggal 3 April 2024, Presiden Tokopedia Melissa Siska Juminto menjelaskan bahwa seluruh aktivitas pembayaran dan transaksi serta pengelolaan user dan pedagang (merchant) yang semula dilakukan oleh TikTok, saat ini telah berpindah ke domain PT Tokopedia dan dikelola sepenuhnya oleh Tokopedia melalui aplikasi Shop Tokopedia.
Baca Juga: Tren Belanja Online Lebaran 2024: Penjualan Busana Muslim Naik 12,5 Kali Lipat
Pertanyaannya adalah apakah praktik seperti ini sudah sejalan dengan ketentuan dan semangat Permendag 31/2023?
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa social commerce ini baru dikenal pada Permendag 31/2023. Sehingga, perlu dicermati apa yang didefinisikan sebagai social commerce. Berdasarkan Pasal 1 disebutkan bahwa “Social Commerce adalah penyelenggara media sosial yang menyediakan fitur, menu, dan/atau fasilitas tertentu yang memungkinkan Pedagang (Merchant) dapat memasang penawaran Barang dan/atau Jasa”. Merujuk pada definisi ini, maka benar bahwa TikTok dapat tergolong sebagai Social Commerce berdasarkan Permendag 31/2023.
Namun, terdapat pembatasan aktivitas bagi Social Commerce yang dicantumkan pada Pasal 21 yang mana diantaranya dilarang bertindak sebagai produsen dan dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada “Sistem Elektroniknya”.
Frasa pembatasan terhadap fasilitasi transaksi pembayaran pada “Sistem Elektroniknya” ini tentu menimbulkan pertanyaan yang sangat mendasar. Apakah bermakna setiap transaksi yang terjadi harus diproses pada sistem elektronik yang terpisah diluar sistem elektronik social commerce atau dapat bekerjasama dengan sistem elektronik lain (Tokopedia) untuk kemudian diintegrasikan pada sistem elektronik pelaku social commerce yaitu TikTok?
Jika kita merujuk pada pernyataan Menteri Perdagangan sebagaimana disebutkan sebelumnya yang menyatakan social commerce adalah sebagai wadah promosi, maka sebenarnya semangat dari Permendag 31/2023 ini menginginkan setiap transaksi yang dilakukan pada platform social commerce harus tetap dilaksanakan pada sistem elektronik yang terpisah.
Baca Juga: Mendag Zulhas Gelar Pertemuan Sama Tokopedia Bahas TikTok Shop, Ini Hasilnya
Namun, saat ini terlihat bahwa yang coba dilakukan oleh TikTok dan Tokopedia merupakan aktivitas integrasi sistem. Yang mana, dapat dipahami bahwa integrasi ini ingin menunjukkan bahwa meski terjadi transaksi di dalam sistem elektronik (aplikasi) TikTok, tetapi yang melakukan proses terhadap transaksi tersebut adalah sistem elektronik milik Tokopedia. Secara sederhana, kesan yang ingin dibangun adalah terdapat aplikasi e-commerce yang berbeda di dalam aplikasi media sosial milik TikTok. Aktivitas semacam ini tidak diatur di dalam Permendag 31/2023.
Sehingga, sejatinya masih terdapat pelanggaran karena seharusnya di dalam sistem elektronik TikTok tersebut sama sekali tidak boleh terjadi transaksi, sebagaimana dengan jelas diatur dalam Pasal 21 ayat (3) Permendag 31 sebagai berikut: “PPMSE dengan model bisnis Social-Commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada Sistem Elektroniknya”
Meski TikTok dapat berdalih “sistem elektronik” yang melakukan transaksi adalah sistem elektronik Tokopedia, namun argumen ini dapat terbantahkan karena pada esensinya sistem elektronik Tokopedia tersebut masih berada di dalam sistem elektronik TikTok.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran TikTok Shop sebelumnya sangat memberikan manfaat bagi pedagang-pedagang di Indonesia untuk memperjual belikan produknya. Namun, sangat disayangkan apabila sampai suatu aktivitas yang dilakukan oleh suatu perusahaan tidak memiliki payung hukum atau justru melanggar norma-norma hukum yang berlaku di Republik Indonesia.
Jika memang aktivitas yang dilakukan oleh TikTok lewat Shop Tokopedia ini dianggap memberikan dampak luas dan bermanfaat, maka Kementerian Perdagangan harus memberikan juga regulasi yang jelas untuk dipatuhi. Bukan hanya untuk kepentingan suatu perusahaan menjalankan usahanya tapi juga sebagai bentuk perlindungan konsumen yang termasuk juga pelindungan data pribadi.
Artinya, suatu integrasi sistem yang dilakukan oleh TikTok dan Tokopedia ini harus memiliki suatu standar yang jelas. Jika kita merujuk pada penyelenggaraan aktivitas sistem pembayaran, bahkan Bank Indonesia sudah memiliki Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) yang mana terdapat aktivitas-aktivitas integrasi Application Programming Interface (API) tertentu yang wajib diikuti oleh penyedia jasa pembayaran (PJP) dan non-PJP dalam hal terjadi suatu integrasi API.
Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan sebaiknya menerbitkan suatu peraturan atau melakukan amandemen terhadap Permendag 31/2023 dalam hal memang aktivitas yang dilakukan oleh TikTok melalui Shop Tokopedia tersebut dipandang perlu untuk mengakomodir kemajuan teknologi dan kesejahteraan pada pedagang.
Jangan sampai, praktik yang dilakukan oleh social commerce lainnya di Indonesia dikemudian hari menjadi tidak sesuai bahkan melanggar regulasi yang ada. Sebagaimana dijelaskan di atas, hal-hal yang perlu diterangkan secara lebih rinci adalah apakah kerjasama social commerce dalam bentuk integrasi sistem tersebut tidak melanggar Pasal 21 dan jika memang diperbolehkan, bagaimana standarisasi integrasi tersebut harus dilakukan agar tidak menimbulkan suatu kerugian (contoh: kebocoran data) bagi konsumen maupun pedagang dimasa yang akan datang.
Opini Advokat Hukum Bisnis, Arian Majesta.