Suara.com - Pemerintah Indonesia berencana untuk menggunakan diplomasi dengan menyajikan data lengkap mengenai tutupan hutan dan metodologi ilmiah yang digunakan sebagai respons terhadap Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menjelaskan bahwa Indonesia memiliki basis data hutan yang cukup rinci melalui Sistem Monitoring Hutan Nasional (Simontana).
EUDR, yang disahkan oleh Parlemen Uni Eropa pada 31 Mei 2023, akan mempengaruhi komoditas seperti ternak sapi, kakao, kopi, kelapa sawit, kedelai, dan kayu, serta produk turunannya seperti kulit, coklat, dan furnitur.
Regulasi ini akan memerlukan proses uji tuntas (due diligence) untuk memastikan bahwa produk-produk tersebut tidak berasal dari lahan yang mengalami degradasi hutan atau deforestasi. Persentase produk yang akan melewati due diligence akan ditentukan berdasarkan penilaian risiko dari negara asal komoditas tersebut, dapat berupa risiko rendah, sedang, atau tinggi.
Baca Juga: Uni Eropa Ogah Terima Barang Deforestasi, Ekspor Indonesia Terancam?
Sebagai referensi, Uni Eropa telah menerbitkan European Union Forest Observatory (EUFO) pada Desember 2023, dengan versi finalnya direncanakan akan dirilis pada Desember 2024.
"Dari sekarang sampai akhir tahun ini, menjadi penting untuk mengkoreksi peta EUFO tersebut, agar klaim country risk assessment Indonesia bisa kategori 'low' dan asal bahan baku dari komoditi yang dipersyaratkan, tidak masuk dalam kategori dari kawasan deforestasi dan degradasi lahan," kata Siti Nurbaya, dikutip dari Antara.
Saat Focus Group Discussion (FGD): Pendalaman Legalitas dan Kelestarian Sektoral pada Kawasan Hutan dalam Konteks Deforestation-Free Supply Chain, Menteri LHK menekankan pentingnya memanfaatkan data dan fakta kongkret yang positif tentang hutan Indonesia untuk menghadapi isu deforestasi di tingkat global.
Menteri Siti mengungkapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat mengkoreksi data deforestasi yang dirilis World Resources Institute (WRI) sehingga akhirnya lembaga tersebut mengakui keberhasilan Indonesia dalam pengurangan laju deforestasi.
Dikatakannya, sejumlah aksi korektif telah dilakukan Indonesia untuk menekan deforestasi dan degradasi hutan diantaranya penghentian izin di hutan primer dan lahan gambut, pencegahan kebakaran hutan dan lahan secara permanen, instrumen FOLU Net Sink, penataan dan legalitas penggunaan kawasan hutan untuk kebun sawit, pengendalian tata kelola agroforestry kopi dan coklat dengan perhutanan sosial, dan penegakan hukum.
Baca Juga: Puluhan Ribu Mobil BYD yang Diekspor Bermasalah, Bodi Ditemukan Lecet dan Berjamur
Sementara itu Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto menjelaskan untuk komoditas kayu dan produk turunannya, Indonesia telah memiliki Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang disetarakan sebagai lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade) dan diakui dalam EUDR.
"Produk kayu ber-SVLK memenuhi lisensi FLEGT dan memenuhi ketentuan EUDR seperti diatur pada ketentuan itu pada Article 10 butir 3," katanya.
SVLK, lanjutnya telah diperbarui dan dilengkapi dengan informasi geolokasi sehingga memperkuat keterlacakan kayu hingga ke titik penebangan. Informasi geolokasi diberikan dalam bentuk QR Code yang tercantum pada sertifikat SVLK yang menyertai produk kayu yang diperdagangkan.
Untuk memperkuat keterlacakan, menurut dia juga dilakukan integrasi sistem informasi pemanfaatan kayu mulai dari Sistem Informasi Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan (SIPASHUT), Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH), Sistem Informasi Rencana Pemanfaatan Bahan Baku Pengolahan Hasil Hutan (SIRPBBPHH), hingga Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK)