Suara.com - President University (Presuniv) mendidik mahasiswanya agar siap menjadi warga global. Untuk itu mahasiswa dan civitas academica Presuniv perlu mengenal budaya, tradisi, kondisi sosial, politik atau ekonomi dari kehidupan masyarakat berbagai negara di dunia.
Salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut adalah Presuniv mengundang para duta besar dari negara-negara sahabat untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada para mahasiswa dan civitas academica-nya.
Demikian disampaikan Rektor Presuniv Handa S. Abidin, SH, L.LM, Ph.D, usai menghadiri kuliah tamu bersama Duta Besar Sri Lanka untuk Indonesia dan ASEAN, Admiral Prof. Jayanath Siri Kumara Colombage.
Kuliah tamu yang merupakan kerja bersama Program Studi (Prodi) Hukum dan Prodi Hubungan Internasional, keduanya dari Fakultas Humaniora, ini mengusung topik The Impact of Blue Ocean Economy: The Ocean Wealth and Ocean Health.
Baca Juga: Di Tengah Isu Boikot, McDonald's Sri Lanka Resmi Bangkrut
Dilaksanakan di Auditorium Charles Himawan, Gedung A lantai 5, Kampus Presuniv di Jl. Ki Hajar Dewantara, Kota Jababeka, Cikarang, kuliah tamu ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Humaniora Dr. Mohammad Syafi’i Anwar, dan Ketua Program Studi Magister Hukum Dr. Dra. Fennieka Kristianto, SH, MH, MA, M.Kn., Ketua Prodi Hukum Dr. Ir. Robert Pangihutan Radjagoekgoek, S.Sos., S.H., M.H., CLI, CLA, para dosen dan staf, serta ratusan mahasiswa.
Dalam kesempatan tersebut Handa menyampaikan bahwa antara Sri Lanka dengan Indonesia memiliki sejumlah kesamaan dan kedekatan.
“Ada beberapa kosa kata Sri Lanka yang nyaris sama ucapan dan artinya dengan kosa kata bahasa Indonesia. Lalu, di sana juga ada nama jalan yang mirip nama di Indonesia. Lalu, ada beberapa warga keturunan Indonesia yang tinggal di Sri Lanka,” papar Handa ditulis Kamis (4/4/2024).
Sementara, Syafi’i Anwar mengatakan bahwa blue economy saat ini sudah menjadi isu global.
“Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah membuat roadmap untuk mengkonsolidasikan semua kebijakan, program dan kegiatan yang melibat berbagai pemangku kepentingan. Roadmap ini akan menjadi panduan bagi Indonesia dalam membangun ekonomi kelautan yang berkelanjutan,” tegas Syafi’i.
Baca Juga: PresUniv Terima Bantuan Senilai Rp 2,63 Miliar dari Epicor Software Indonesia
Menyangkut topik kuliah tamu Prof. Jayanath yang juga membahas soal blue economy, kata Syafi’i, itu akan menjadi referensi penting bagi Indonesia.
Green Economy vs Blue Economy
Dalam kuliah tamunya Prof. Jayanath memaparkan, “Sebanyak 71% dari bumi ini adalah lautan. Lalu, 95% isi bumi terdiri dari air yang mewujud dalam berbagai bentuk. Ada berupa sungai, rawa-rawa, danau, atau lautan. Sayangnya selama ini yang kita ketahui hanya daratan.” Lanjut dia, kita sudah sering mendengar istilah Green Economy, tapi kurang mengenal konsep Blue Economy.
“Kurangnya pemahaman seperti inilah yang membuat laut dan sumber daya yang ada di dalamnya semakin terancam. Kita menyaksikan pencemaran laut terjadi di mana-mana. Kapal-kapal membuang limbah dan minyak ke laut. Cara penangkapan ikan sekarang ini juga semakin destruktif dan membuat terumbu karang menjadi rusak. Menyedihkan bahwa generasi muda tidak dapat melihat betapa indahnya laut yang ada di bumi,” paparnya.
Konsep Blue Economy yang sebenarnya, kata Prof. Jayanath, adalah eksploitasi sumber daya laut secara berkelanjutan. Dan, laut menjanjikan sumber daya yang melimpah untuk bisa dieksploitasi.
“Kita bisa mengembangkan industri pariwisata yang berbasis kelautan. Selama ini kita lebih banyak menikmati keindahan pantai dan permukaan laut, tetapi belum menjelajah sampai ke dasar laut. Padahal, ada banyak keindahan di sana,” ungkapnya.
Ada banyak industri baru yang juga bisa dikembangkan berbasis Blue Economy.
“Misalnya, industri energi baru terbarukan, eksploitasi mineral bawah laut, industri restorasi ekosistem laut, bahkan industri yang berbasis blue technology dan blue biotechnology,” papar Prof. Jayanath.
Ocean Health, Ocean Wealth
Meski begitu upaya mengembangkan Blue Economy juga menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di antaranya, adanya pengeboran lepas pantai, pelayaran lintas samudera, pembuangan limbah, pembangunan jaringan telekomunikasi, wisata yang hanya berbasis pesisir, dan sebagainya. Ungkap Prof. Jayanath, “Indonesia dan Sri Lanka bisa berkolaborasi, saling berbagi pengalaman, pengetahuan, dan best practices untuk mengatasi tantangan tersebut.”
Apalagi Indonesia dan Sri Lanka memiliki banyak kesamaan. “Baik Indonesia maupun Sri Lanka adalah negara yang terdiri dari pulau-pulau yang dikelilingi lautan, ekonominya juga sangat tergantung pada kelautan, dan sama-sama rawan terhadap ancaman pemanasan global yang berdampak pada naiknya permukaan air laut,” ungkap Prof. Jayanath.
Laut yang rusak hanya akan mendatangkan bencana. Maka, tukas Prof. Jayanath, Indonesia-Sri Lanka sangat perlu bekerja sama. “Hanya laut yang sehat yang bisa mendatangkan kemakmuran,” tegasnya.