Suara.com - DJP menanggapi banyaknya protes dari warganet terkait besarannya potongan pajak atas penghasilan dan tunjangan hari raya (THR) pada bulan Maret 2024. Protes ini mencuat di media sosial dalam beberapa hari terakhir.
Penyebab utama dari peningkatan potongan pajak ini adalah penerapan skema baru dalam penghitungan dan pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang mulai berlaku sejak Januari tahun ini.
Menurut Dwi Astuti, selaku Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, metode penghitungan PPh Pasal 21 pada bulan penerimaan THR menggunakan skema tarif efektif rata-rata (TER).
Dalam skema ini, PPh 21 dihitung dengan cara menambahkan gaji dan THR yang diterima pada bulan tersebut, lalu dikalikan dengan tarif sesuai dengan tabel TER. Akibatnya, potongan pajak pada bulan penerimaan THR akan lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
Baca Juga: Akhir Cerita Andhi Pramono, Berawal Ulah Anak-Istri Pamer Kekayaan Berujung Penjara 10 Tahun
Dwi juga menegaskan, jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong pada bulan diterimanya THR lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya karena jumlah penghasilan yang diterima lebih besar, sebab terdiri dari komponen gaji dan THR.
Tunjangan Hari Raya (THR) yang diterima oleh karyawan perusahaan termasuk dalam kategori objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Penetapan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
Pengenaan pajak atas THR ini kemudian diatur secara rinci dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 mengenai Pedoman Teknis Tatacara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Terkait Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Namun, terjadi perubahan dalam skema penghitungan PPh 21 dengan menggunakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023. Perubahan ini mengenai cara penghitungan PPh pasal 21 menjadi lebih sederhana dengan menerapkan metode Tarif Efektif Rata-Rata.
Sebelumnya, pemberi kerja akan melakukan penghitungan PPh 21 secara terpisah untuk gaji dan THR dengan menggunakan tarif Pasal 17. Namun, dengan peraturan baru ini, pemberi kerja cukup menghitung penghasilan bruto per bulan dan mengalikannya dengan TER bulanan.
Baca Juga: 10 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan Terbaru April 2024 Buat Hadiah THR
Elemen penghasilan bruto yang dimaksud mencakup berbagai komponen seperti gaji, tunjangan rutin, bonus, uang lembur, THR, serta penghasilan lain yang tidak teratur.
Hal ini juga termasuk imbalan dari kegiatan yang diadakan oleh pemberi kerja, pembayaran iuran jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan, serta premi asuransi yang dibayarkan oleh pemberi kerja.
Contoh penerapan metode penghitungan PPh 21 menggunakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) adalah ketika seorang pegawai menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja sebesar Rp6,5 juta pada bulan Februari, maka tarif efektif bulanan PPh 21 yang digunakan adalah kategori A sebesar 1 persen.
Namun, pada bulan Maret, pegawai tersebut menerima penghasilan bruto sebesar Rp13 juta karena dijumlahkan dengan THR, sehingga tarif efektif bulanan PPh 21 yang digunakan adalah kategori A sebesar 5 persen.
Menurut Dwi, penerapan metode penghitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan TER tidak akan menambah beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak. Tarif TER diterapkan untuk memudahkan penghitungan PPh Pasal 21 selama bulan Januari hingga November.
Pada bulan Desember, pemberi kerja akan menghitung kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif umum PPh Pasal 17, dan mengurangkan jumlah pajak yang sudah dibayarkan selama Januari sampai November, sehingga beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak tetap sama.