Pajak Haram dalam Islam? Begini Penjelaan Rasulullah dan Para Ulama

M Nurhadi Suara.Com
Kamis, 28 Maret 2024 | 12:45 WIB
Pajak Haram dalam Islam? Begini Penjelaan Rasulullah dan Para Ulama
Sebagai Ilustrasi - Petugas pajak KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga (kiri) membantu seorang seorang wajib pajak mengisi laporan SPT tahunan pajak di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/3/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/tom.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Belakangan, pajak dan bea cukai kembali jadi sorotan usai berbaga kebijakan yang menuai protes. Pajak, acapkali menjadi pembahasan netizen lintas media sosial karena hampir semua sektor dan kebutuhan terkena pajak, slaah satunya Tunjangan Hari Raya atau THR.

Menarik disimak, apakah Islam mengharamkan pajak? Atau justru sebaliknya?

Pajak, juga sudah dikenal sejak era Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam sekitar abad 6 masehi. Dalam bahasa Arab, pajak bisa diartikan pula sebagai لضَّرِيْبَةُ (Adh-Dharibah), yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak”.

Di Indonesia, ada berbagai macam pajak yang dipungut oleh pemerintah, diantaranya: 

Baca Juga: Baru Sebulan Jadi Menteri, AHY Minta Tambahan Anggaran Setengah Triliun Lebih ke Sri Mulyani

  1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah jenis pajak yang dikenakan pada kepemilikan tanah, lahan, dan bangunan seseorang.
  2. Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dipungut berdasarkan penghasilan yang diperoleh seseorang. Pajak
  3. Pertambahan Nilai (PPN) adalah jenis pajak yang dikenakan pada barang dan jasa.
  4. Pajak Barang dan Jasa (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan pada penjualan barang mewah.
  5. Pajak Perseroan adalah pajak yang dikenakan pada setiap perseroan atau badan hukum serupa.
  6. Pajak Transit/Peron dan lain-lain merupakan jenis-jenis pajak tambahan yang dikenakan dalam berbagai transaksi atau kegiatan tertentu.

Hukum Pajak Menurut Islam

Ada banyak dalil baik secara langsung atau tidak langsung merujuk pada pajak, salah satunya dijelaskan dalam Surah An-nisa ayat 29.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”

Dikutip dari Al Manhaj, Ustaz Abu Ibrahim Muhammad Ali menyebut, melalui ayat tersebut, Allah Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang  tidak sesuai aturan Agama. Pajak lantas dianggap sebagai salah satu jalan yang batil jika diniatkan untuk memakan harta orang lain.

Baca Juga: Kisah Baju Lebaran Hasan dan Husein Cucu Rasulullah yang Menggetarkan Hati

Rasulullah SAW juga pernah membahas hal ini. 

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” (Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.)

Rasulullah juga secara jelas mengatakan pemungut pajak bisa diazab oleh Allah di negara. 

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.

عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ

“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib”[7]

Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.

مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ

“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]

Pendapat Para Ulama

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin.

Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya”

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata :

“Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah.

وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ

“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud/11:85]

Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya”[16]

Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam.

Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang dimaksud dengan sebutan (صَاحِبُ الْمَكْسِ ) Shahibul Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr (الْعَشَّارُ). Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu.

Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat zhalim. Wallahu a’lam.
Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan : “Kata Shahibul Maks (صَاحِبُ الْمَكْسِ ) adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq”

Pemerintah Berhak Atas Rakyatnya

Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ; “Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin..”

Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah.

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra/17:26]

Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat An-Nisa/4:36, Muhammad/47 : 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa : مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ  = Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah” [HR Muslim : 66], semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di antara orang kaya melihat ada orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh Allah.

Sikap kaum Muslim terhadap pajak menjadi sebuah pertanyaan yang muncul ketika kita menyadari bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezaliman yang nyata. Namun, bagaimana sebenarnya sikap yang seharusnya diambil oleh seorang Muslim terhadap kewajiban pajak?

Menurut ajaran Islam, setiap Muslim diwajibkan untuk mentaati pemimpinnya selama pemimpin tersebut masih dalam kategori Muslim dan tidak memerintahkan perbuatan dosa.

Meskipun pajak dianggap sebagai salah satu bentuk kezaliman, hal tersebut tidak membuat ketaatan seorang Muslim kepada pemimpinnya menjadi batal. Seorang Muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang Muslim, selama perintahnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk kepada para sahabatnya tentang situasi di mana pemimpin melakukan kezaliman. Ketika ditanya apakah boleh untuk melawan atau memberontak, Rasulullah menjawab bahwa itu tidak boleh dilakukan selama pemimpin masih menjalankan kewajiban shalat.

Bahkan ketika pemimpin melakukan kezaliman terhadap rakyatnya terkait masalah harta, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan arahan kepada umatnya untuk tetap patuh kepada pemimpin, asalkan pemimpin tersebut seorang Muslim.

Hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang shahih, di mana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk tetap mendengarkan dan mentaati pemimpin, bahkan jika pemimpin tersebut adalah seorang hamba sahaya yang menjadi Muslim.

Dengan demikian, ajaran Islam menekankan pentingnya ketaatan kepada pemimpin selama perintahnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, meskipun pemimpin tersebut melakukan kezaliman.

اِسْمَعْ وَأطِعْ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ ؤَأَخَذَ مَالَكَ

“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]

Namun demikian, pengamat ekonomi syariah sekaligus Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, Ustaz Muhammad Syamsudin melalui NU Online, terkait hal ini menyinggung Majelis Fatwa Tunisia, memberi pengertian “al-maksu” sebagai: المكس هو جباية وضريبة كانت موضوعة على السلع في الجاهلية وكانت من التسلط الظالم وأخذ أموال الناس بغير حق Artinya: “Al-maksu adalah pungutan atau tarikan yang ditetapkan atas suatu harta dagangan pada masa jahiliyah. Itu termasuk kategori perbuatan penguasaan yang dhalim dan termasuk pula sebagai perbuatan mengambil harta orang lain tanpa hak.”

Majelis Fatwa Tunisia tersebut juga menambahkan: والذي جرى العرف في بلادنا أنهم يطلقون المكس على ما يأخذه مكتري السوق ممن ينتصبون لبيع منتوجتهم لكن لما كان هذا المال الذي يدفعه العارض لاينتفع به شخص معين وإنما هو مال يصرف في المصالح العامة إسهاما من العارضين في ميزينية البلدنية أو الدولة ولما كانت البلدية أو الدولة ميزانها مضبوطا صرفا وقبضا ومراقبا من مؤسسات قائمة على حسن التصرف فإنه بذلك يكون المال المأخوذ جاريا مجرى الضرائب التي تدفع من الأفراد إلى الدولة لتقوم بمصالحهم وهي بذلك جائزة لاحرمة فيها

Artinya: “Urf yang berlaku di negara kita (Tunisia) yang sering disebut sebagai al-maksi adalah harta yang dipungut oleh petugas pasar dari orang-orang yang menjual barang produksi mereka. Apabila harta pungutan tersebut diserahkan secara insidentil dan tidak dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu melainkan ditasarufkan untuk kemaslahatan umum seperti membiayai kegiatan-kegiatan insidentil terukur oleh wilayah atau negara, dan apabila wilayah atau negara menetapkan aturannya yang mencakup besaran, tujuan hendak dipergunakan, penerimaannya serta diawasi oleh badan-badan khusus sehingga penyalurannya dapat berlangsung baik, maka harta sebagaimana yang sudah dijelaskan dimuka termasuk bagian dari iuran yang dibayarkan oleh individu kepada negara agar tercapai kemaslahatan. Hukum dari iuran / pungutan seperti ini adalah boleh serta tidak haram.”

Dari penjelasan yang diberikan oleh Majelis Fatwa Tunisia, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara al-maksu yang dipungut pada zaman jahiliyah dengan al-maksu (dlaraib) yang dipungut oleh negara.

Perbedaan tersebut terletak pada status legal formal al-maksu menurut hukum negara. Jika suatu pungutan pajak telah ditetapkan besaran dan mekanisme pengawasannya oleh negara, serta diakui secara resmi, maka pungutan tersebut tidak lagi dianggap sebagai pungutan liar.

Dalam konteks kontemporer, pungutan semacam ini dikenal sebagai pajak. Berbeda dengan al-maksu yang dikenakan oleh individu pada masa jahiliyah, pungutan semacam itu disebut sebagai al-maksu yang haram karena termasuk dalam kategori pemalakan atau pungutan liar.

Dengan demikian, disimpukan bahwa al-maksu yang dimaksud berbeda dengan pajak karena bersifat pungutan paksa atau liar. Pajak tidak bisa dikategorikan sebagai al-maksu karena kesepakatan antara negara dengan warga sebagai wajib pajak.

Wallahu alam bisshawwab. Kebenaran hanya milik Allah SWT,

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI