Suara.com - Contract farming yang dijalankan di Thailand mengemuka setelah negara tersebut berhasil menjadi salah satu pemain utama produksi beras dunia.
Di sisi lain Indonesia yang dicap sebagai negara agraris justru kelimpungan memenuhi kebutuhan pasokan beras dalam negeri. Pemerintah justru berencana melakukan impor beras dari Negeri Gajah Putih itu.
Melansir laporan Asian Development Bank, sistem contract farming yang dijalankan Thailand merupakan sarana untuk membantu petani kecil dalam mendapatkan akses pasar dan mengurangi risiko harga. Dalam sistem contract farming ini, pemerintah secara ketat mengontrol harga dan kebijakan tenaga kerja pertanian.
Pemerintah membangun lingkungan dan infrastruktur yang mumpuni untuk mendorong investasi di bidang agribisnis dan meningkatkan produktivitas pertanian.
Baca Juga: Minta Masyarakat Tak Perlu Khawatir, Dirut Bulog: Stok Beras Cukup dan Harga Mulai Stabil
Pemerintah berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani hingga 80 persen. Kebijakan pun mendorong diversifikasi pertanian kendati beras tetap menjadi komoditas utama. Dengan kebijakan ini para petani bisa menanam berbagai tanaman komersial seperti singkong, tebu, dan jagung. Kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau juga ditanam di lahan kering.
Contract framing mulai dipromosikan sejak Rencana Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional keempat (1977 – 1981). Kebijakan untuk ekspor nilai tambah dipromosikan dan agroindustri tumbuh pesat, terutama pada ikan kaleng, nanas, dan produk tomat. Kemudian rencana ke-6 mempromosikan integrasi pertanian dan pengolahan dan ekspor bernilai tambah tinggi.
Dibandingkan dengan yang lain Negara-negara Asia, pada awal 1990 Thailand mungkin memiliki pengalaman paling luas dengan contract farming dan jangkauan tanaman terluas.
Pada pertengahan Rencana ke-7, nilai ekspor produk agroindustri telah mencapai 82.000 juta Baht dan tumbuh menjadi 247.000 juta pada tahun 2003 (Departemen Pertanian dan Koperasi 2004) dan mencapai 303.069 juta Baht pada tahun 2006.
Di sektor pengolahan buah dan sayuran dan unggas di mana kontrak produksi sangat luas, tingkat pertumbuhan selama 2005-2006 mempertahankan tingkat tinggi 11,1% dan 8% masing-masing (Departemen Pertanian dan Koperasi 2007).
Contract farming telah berperan penting dalam memberikan petani akses ke rantai pasokan dengan stabilitas pasar dan harga, serta bantuan teknis.
Kebijakan khusus juga diterapkan untuk petani miskin. Bekerja sama dengan perusahaan swasta, para petani sering mendapatkan kredit dari perusahaan.
Timbal baliknya, perusahaan mengharapkan pengiriman barang dalam jumlah tertentu, namun kualitas dan harga telah ditetapkan. Pasar dan kepastian harga bagi kedua belah pihak yakni petani dan perusahaan membuat kualitas produk meningkat dan rantai pasok menjadi lebih efisien.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni