Benarkah Hilirisasi ala Jokowi Mulai Membawa Berkah Neraca Dagang Indonesia?

Sabtu, 06 Januari 2024 | 09:46 WIB
Benarkah Hilirisasi ala Jokowi Mulai Membawa Berkah Neraca Dagang Indonesia?
Ilustrasi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan pidato pada acara groundbreaking proyek hilirisasi batu bara menjadi dimetil meter di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan resmi dimulai pada Senin (24/1/2022). (foto: bidik layar video)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menilai bahwa kebijakan hilirisasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai memberikan manfaat positif terhadap neraca perdagangan Indonesia.

Dia pun menyoroti perubahan struktur ekspor Indonesia, yang semula fokus pada ekspor komoditas beralih menjadi ekspor manufaktur.

Pernyataan di atas merupakan tanggapan Faisal terhadap neraca perdagangan Indonesia yang surplus selama 43 bulan berturut-turut. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus perdagangan pada November 2023 mencapai USD2,41 miliar. Sementara, surplus akumulatif periode Januari-November 2023 mencapai USD33,63 miliar.

“Struktur ekspor Indonesia berubah sejak ada hilirisasi, sehingga ekspor produk olahan nikel meningkatkan jenis ekspor untuk logam dasar. Itu masuk kategori manufaktur yang memberikan nilai tambah dibanding ekspor barang mentah,” kata Faisal dalam sebuah diskusi dikutip Sabtu (6/1/2024).

“Betul bahwa ekspor kita mulai merasakan manfaat dari hilirisasi. Walaupun memang tingkat pengolahannya masih tahap awal dan bisa disempurnakan lagi potensinya. Itu lebih baik daripada ekspor barang mentah. Kalau kita puas dan setop di sini, justru negara lain yang akan mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Artinya, hilirisasi ini harus terus diolah,” tambah dia.

Walaupun neracanya surplus, tapi nilainya jika dibandingkan dengan Oktober 2023 turun USD1,06 miliar. Bahasa lainnya adalah surplus atau kelebihan ekspor terhadap impor semakin mengecil nilainya.

Peraih gelar doktor dari Universitas Queensland itu menyatakan, hilirisasi memang kebijakan yang berorientasi pada jangka panjang. Jika pemerintah terus menggeber surplus neraca perdagangan dengan mengekspor barang mentah, maka Indonesia akan kehilangan daya tawar dan kesempatan emasnya untuk menjadi negara besar di masa depan.

Sebagai informasi, hilirisasi merupakan upaya negara untuk mendongkrak ekonominya dengan memberikan nilai tambah atas suatu komoditas. Faisal mencontohkan, Ketika Indonesia berkomitmen untuk mengoptimalkan hilirisasi nikel, maka pemerintah praktis melarang ekspor nikel dalam bentuk barang mentah (raw material).

“Apakah kita ingin mendapat keuntungan sesaat tapi nilainya kecil atau keuntungan jangka panjang dengan nilai yang lebih besar. Hilirisasi mungkin membuat kita rugi jangka pendek karena ada ekspor yang tereduksi. Tapi, jangka panjangnya, kita akan punya produk dengan nilai tambah yang lebih besar. Kalau kalkulasi dagang, hilirisasi akan jauh lebih untung daripada jual barang mentah,” beber dia.

Baca Juga: Bandingkan Slepetnomic dan Hilirisasi Digital, Dahnil: Lebih Akademik Hilirisasi Digital

“Kalau hilirisasi ditunda dengan alasan supaya bisa ekspor raw material, ya tidak baik. Karena sumber dayanya akan habis. Semakin banyak yang diekspor barang mentah, semakin dikit kita merasakan nilai manfaatnya. Secara kuantitas dan peluang investor datang akan semakin kecil, karena hilirisasi jadi tidak menarik lagi,” sambung Faisal.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI