Suara.com - Hilirisasi jadi isu panas dalam debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) beberapa waktu lalu. Salah satunya, digaungkan oleh Cawapres Gibran Rakabuming Raka yang berjanji akan melakukan Hilirisasi Digital.
Menurut Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI), Kamilov Sagala, istilah baru tersebut dinilai tidak tepat dengan kondisi sekarang.
Kamilov pun mencontohkan adanya aksi di mana TikTok mengakuisisi Tokopedia lewat 75% saham yang digenggam perusahaan teknologi asal Tiongkok tersebut. Lewat akuisisi TikTok terhadap Tokopedia, justru yang terjadi adalah arus modal asing kini mengendalikan perusahaan dalam negeri.
"Ada e-commerce lokal dan asing, ada aplikasi baik buatan anak negeri dan Aseng. Apanya yang mau dibuat hilirisasi digital tersebut. Maaf ini timnya kurang smart saja. Maaf istilah hilirisasi digital ini ambigu, kalau mengutip dari penjelasannya TKN Budiman Sudjatmiko," ujar Kamilov yang dikutip Jumat (29/12/2023).
Baca Juga: Kemenkop UKM Indikasikan TikTok Shop Langgar Dua Hal
Hal yang perlu dikritisi lainnya adalah istilah hilirisasi digital ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di lapangan. Hal ini dibuktikan, lanjut praktisi hukum bisnis tersebut, Tiktok terang-terangan melanggar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Lewat Permendag 31, aturan yang dibuat pemerintah sendiri ditabrak oleh perusahaan swasta, apalagi perusahaan tersebut milik asing. Seperti diketahui Permendag 31 mengatur jelas, adanya pemisahan fungsi media sosial dan ecommerce, serta tidak diperbolehkannya media sosial melakukan transaksi.
"Dengan Permendag memberi keleluasaan kepada Tiktok dalam mengkangkangi regulasi. Itu menunjukan fungsi mengaturnya pemerintah sudah diamputasi. Dan ini jelas meruntuhkan fungsi pemerintah sendiri sebagai pemilik otoritas kedaulatan berbisnis," kata dia.
Kamilov menambahkan, kasus Tiktok yang melanggar Permendag ini harus mendapat perhatian serius. Sebab, jika terjadi pembiaran, maka akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah dan wibawa pemerintah juga menjadi hilang di mata publik.
"Dan sisi lain apabila kasus Tiktok ini tidak hati-hati atau prudent mengaturnya, maka potensi untuk diduplikasi oleh pemain Asing dan Aseng jelas mereka tidak tinggal diam. Karena potensi pasar yang mengiurkan sudah menunggu di depan mata mereka. Maka sempurnalah kehancuran e-commerce lokal dan UMKM yang lagi merangkak di negeri kita ini," kata Kamilov.
Baca Juga: Aerostreet dan Erigo Tembus Rekor Penjualan Lewat TikTok Saat 12.12
Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UKM meyebut, adanya indikasi pelanggaran yang dilakukan Tiktok Shop setelah kembali beroperasi di Indonesia. Indikasi itu terkait masih adanya penggabungan dua fungsi di aplikasi mereka yakni media sosial (medsos) menyatu dengan belanja daring atau e-commerce.
Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah Kemenkop dan UKM, Hanung Harimba Rachman, mengatakan praktik yang dilakukan TikTok Shop telah dilarang dalam Permendag Nomor 31 Tahun 2023. Hanung mengungkapkan sejumlah pelanggaran Tiktok Shop sudah mulai dibahas internal dari Kemenkop dan Kementerian Perdagangan. Di antaranya frasa 'tidak adanya keterhubungan atau interkoneksi' yang memisahkan dua entitas sistem elektronik antara PMSE dengan sistem elektronik di luar PMSE'. Dan indikasi pelanggaran lainnya ialah menerabas aturan terkait masih adanya transaksi di media sosial TikTok atau TikTok Shop.
"Melanggar ketentuan (TikTok Shop melakukan transaksi dan fitur e-commerce di media sosial). Harus di aplikasi yang berbeda," imbuh Hanung.