Kontrak LNG Dengan Gunvor, PGN Yakin Penuhi Pasokan?

Jum'at, 22 Desember 2023 | 11:10 WIB
Kontrak LNG Dengan Gunvor, PGN Yakin Penuhi Pasokan?
Ilustrasi. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dinilai tidak akan membiarkan transaksi LNG dengan Gunvor Singapore Ltd menciptakan kerugian hingga senilai kontrak yang sudah disepakati.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dinilai tidak akan membiarkan transaksi LNG dengan Gunvor Singapore Ltd menciptakan kerugian hingga senilai kontrak yang sudah disepakati.

Apalagi sebagai Subholding Gas yang berada dibawah kendali Pertamina, PGN memiliki pengalaman dan akses ke pasar LNG, baik domestik maupun international, untuk mendapatkan pasokan gas alam cair tersebut.

Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan mengatakan, ada banyak informasi yang perlu dicermati oleh investor terkait dengan isu PGN dan Gunvor yang muncul belakangan ini. Salah satunya terkait potensi kerugian PGN yang disebut-sebut sangat besar tersebut.

“Hingga saat ini kita belum terinformasi secara resmi berapa nilai kontrak penjualan LNG dari PGN kepada Gunvor. Tapi saya meyakini bahwa potensi kerugian yang banyak dispekulasikan di pasar modal itu tidak mencerminkan angka yang sesungguhnya,” kata Marolop dikutip Jumat (22/12/2023).

Baca Juga: Perusahaan Energi Uni Emirat Arab Temukan Cadangan Gas Bumi Jumbo di Ujung Aceh, Bantu Program Hilirisasi?

Ia kemudian mengilustrasikan secara sederhana. Jika kontrak penjualan LNG antara PGN dengan Gunvor bernilai 100, tentunya PGN akan mati-matian untuk mendapatkan pasokan LNG tersebut, berapapun harganya. Dengan begitu perusahaan tidak akan rugi hingga 100 persen.

Namun Marolop juga menilai bahwa PGN tetap berpotensi untuk mengalami kerugian dari transaksi dengan Gunvor. Ia mencontohkan, untuk memenuhi kontrak penjualan dengan Gunvor itu, bisa jadi PGN mendapatkan pasokan LNG di harga yang lebih tinggi.

“Yang namanya bisnis, apalagi di sektor migas yang tidak bisa diprediksi fluktuasi harganya, kerugian itu adalah bagian dari risiko bisnis,” imbuhnya.

Ia juga menjelaskan bahwa kontrak jual beli gas selalu berdimensi jangka panjang. Sehingga tidak bisa mengukur untung rugi sebuah kontrak hanya dalam satu tahun kalender. Karena itu untuk menilainya harus sampai dengan kontrak tersebut berakhir.

Menurut Marolop, sebagai perusahaan milik pemerintah, PGN memiliki fundamental bisnis yang kuat dan menjadi agregator bisnis gas bumi di Indonesia. Strategi PGN untuk memperluas portofolio dengan masuk ke bisnis LNG sudah sangat tepat.

Baca Juga: PGN Raih Pasokan Gas Bumi 410 BBTUD dari Blok Corridor

“Era gas pipa akan terus menurun, mengingat produksi gas bumi di bagian Barat Indonesia terus berkurang. Sementara eksplorasi dan produksi migas di Indonesia bagian Timur terus meningkat dan hanya efisien jika proses distribusinya dijadikan LNG. Inilah yang akan menjaga bisnis PGN tetap kuat di masa depan,” urainya.

Sebagai subholding gas, PGN memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan energi nasional. Itu sebabnya, PGN menggelar berbagai langkah untuk meningkatkan kinerja dan optimalisasi portofolio dalam jangka panjang.

Salah satunya adalah melakukan revitalisasi Tangki Arun F-6004 untuk pemanfaatan Arun sebagai LNG Hub. Melalui revitalisasi tersebut, kilang LNG Arun nantiya akan menjadi LNG receiving and hub terminal berkelas dunia.

PGN juga tengah menyiapkan bisnis clean and renewable energy melalui proyek biomethane plant development. Upaya dekarbonisasi kelapa sawit tersebut sejalan dengan komitmen pemerintah mewujudkan net zero emission (NZE) pada 2060 mendatang.

Untuk memenuhi pasokan dalam jangka panjang, PGN baru saja meneken Perjanjian Jual-Beli Gas (PJBG) dengan Medco E&P Grissik Ltd (MEPG) yang bersumber dari Blok Corridor, Sumatera Selatan. Melalui kontrak berjangka waktu lima tahun ini, PGN akan memperoleh volume sebesar ± 410 BBTUD sejak jelang akhir Desember 2023 dan selanjutnya volume yang dialirkan akan menyesuaikan kemampuan produksi dari Blok tersebut.

Pakar sekaligus praktisi migas Hadi Ismoyo mengamini, fluktuasi harga merupakan makanan sehari-hari di industri migas. Itu sebabnya, rencana mitigasi biasanya dilakukan melalui kontrak jangka panjang dan mengamankan dari dua sisi, yakni sumber gas dan pasar gas di sisi hilir. Untuk lebih aman, kadang dibuat sistem basket yang memungkinkan penjual memiliki kontrak dari berbagai sumber gas sehingga bisa melayani pembeli dengan lebih fleksibel.

Ketua Dewan Penasihat Alumni Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menilai, manajemen PGN semestinya mampu mengantisipasi fluktuasi harga migas dengan pengetahuan dan jaringan yang dimilikinya. Kalau pun PGN mengalami kerugian akibat memperoleh gas dengan harga beli yang lebih tinggi dibandingkan harga jual, menurut Hadi, hal itu merupakan hal yang wajar. Dengan catatan, seluruh mitigasi risiko dengan seluruh sumber daya dan jaringan yang dimiliki memang telah dilakukan.

Dalam persoalan kontrak antara PGN dengan Gunvor, Hadi mengatakan, perlu diteliti kembali apa penyebab masalahnya. Yang jelas, para pihak perlu kembali duduk bersama untuk berunding dan mencapai solusi terbaik bagi semua pihak. Pemerintah sebagai pemegang saham akhir PGN diharapkan juga bisa membantu memberi solusi.

"Di tangan Pemerintah saat ini masih ada kesempatan untuk memasarkan LNG dari Tangguh Train 3, LNG Masela, LNG Kasuari Block, dan Gas Pipa dari Corridor. Tentu perlu dicari term condition yang cocok agar bleeding denda di sisi PGN bisa berkurang meski kerugian tidak mungkin dinolkan," ujar Hadi yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI).

Lebih jauh, Hadi mengatakan, langkah PGN mengembangkan bisnis LNG merupakan hal yang tepat dan wajib didukung. Apalagi, pasar LNG di dalam negeri terbuka lebar. Meski pasar luar negeri tengah tertekan, PGN bisa fokus untuk menggarap pasar dalam negeri dalam rangka mengurangi penggunaan LPG dengan membangun infrastruktur gas yang terintegrasi, masif, dan agresif.

“NKRI sudah sepakat, bahwa transisi energi menuju renewable sampai 2060 adalah gas. Kita punya resources gas yang cukup di Indonesia Timur dan Ujung Barat Aceh. Artinya kebijakan gas sebagai transisi sudah tepat,” pungkas Hadi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI