Suara.com - Salah satu permasalahan geopolitik yang hingga kini belum menemukan titik terang dan berpotensi konflik di kawasan Asia salah satunya adalah ketegangan antara China dan Taiwan.
Terlebih, meski belakangan nampak semakin dekat, terkait kemungkinan campur tangan dari Amerika Serikat juga tidak bisa dianggap angin lalu.
Pemilihan umum di Taiwan yang dijadwalkan pada 13 Januari 2024 menjadi konteks penting yang menambah kompleksitas dinamika regional ini. Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus analis geopolitik internasional, Sukron Makmun menyebut, Indonesia harus menghadapi potensi dampak dari situasi tersebut.
“Karena selama ini Taiwan memiliki hubungan khusus dengan AS, dan terus meyakinkan AS untuk membangun hubungan lebih dalam, terutama dalam bidang ekonomi dan militer,” kata dia, pada Senin (18/12/2023).
Baca Juga: Sinopsis Drama China Story of Kunning Palace Episode 3: Malam Bersalju 4 Tahun Lalu
Jika perseteruan antara AS dan Tiongkok yang dipicu perseteruan selat Taiwan–terjadi, yang kebetulan Indonesia ada di tengah-tengah, maka di Indonesia akan rawan konflik dalam negeri.
Indonesia sebagai negara demokrasi dengan potensi konflik, terutama yang berkaitan dengan SARA. Potensi ini bisa dimanfaatkan oleh pihak luar, seperti AS, untuk menciptakan ketidakstabilan. Meskipun Indonesia selalu menegaskan Kebijakan One China Policy di forum internasional, hubungan baik dengan Tiongkok tetap terjaga.
Menurut Sukron, AS memiliki perseteruan dengan Tiongkok, dan Taiwan hanya menjadi alasan untuk konflik tersebut. Perseteruan AS-Tiongkok berkaitan dengan sejarah. Partai politik di Taiwan dibagi menjadi koalisi Pan-Green dan Pan-Blue. Koalisi Pan-Green mendukung kemerdekaan Taiwan, sementara Pan-Blue cenderung mengutamakan identitas nasionalis Tiongkok.
Pentingnya mengakui prinsip Satu China diakui sebagai dasar utama. Pengakuan terhadap Konsensus 1992, yang diakui oleh KMT, tapi tidak oleh DPP, harus jelas dan tanpa keraguan. Kolaborasi antara DPP dan AS untuk mencapai kemerdekaan Taiwan dapat memicu ketegangan dengan Tiongkok.
Situasi di Selat Taiwan dan konflik di Laut China Selatan menjadi perhatian, terutama dengan potensi perang militer di kawasan tersebut. Meskipun terdapat ketegangan politik, ketergantungan ekonomi antara AS dan Tiongkok tetap tinggi. AS merupakan mitra dagang terbesar Tiongkok, meskipun terjadi ketidaksetujuan politik.
Baca Juga: Jalanan Di Gaza Berubah Jadi Kuburan
Menurut dia, calon pemimpin Taiwan sebaiknya menjadi lebih realistis terkait upaya disintegrasi dari Tiongkok, karena dampaknya lebih banyak negatifnya daripada positifnya.
Selain itu, penting untuk selalu konsisten dalam prinsip dasar untuk memelihara stabilitas, tanpa tergantung pada partai atau kekuatan politik yang berkuasa di Taiwan pada tahun 2024.
Tiongkok, kata dia, tidak akan mengubah pendekatannya terkait prinsip Satu China hanya karena perubahan politik di Taiwan. Upaya untuk menjaga perdamaian di Selat Taiwan harus dilakukan oleh kedua belah pihak.
Lebih lanjut, Sukron menyatakan bahwa masyarakat Taiwan perlu menyadari bahwa pernyataan AS tentang "kepedulian dan pemeliharaan perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan" mungkin hanya retorika.
Agenda reunifikasi merupakan tujuan utama Tiongkok. Tiongkok juga memberi alternatif lebih lunak berupa tawaran “satu negara dua sistem” kepada Taiwan, seperti yang sudah berlaku di Hongkong dan Macau.
“Calon pemimpin Taiwan harus sadar bahwa Tiongkok telah menjelma menjadi kekuatan adidaya baru dunia, bahkan diprediksi akan segera melampaui AS dan sekutunya dalam waktu tidak terlalu lama," kata dia.