Suara.com - Konsultan sekaligus pengamat Bisnis dan Marketing, Yuswohady mengungkapkan, pengeluaran belanja iklan pada masa kampanye dalam sejarah pemilihan umum (pemilu) 2014 dan 2019 serta proyeksi pada 2024 nanti.
Sebagai awalan, pada pemilu 2014, Yuswohady memberikan gambaran mengenai pengeluaran belanja iklan oleh kedua pasangan calon, yakni Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla. Ia juga menggambarkan belanja iklan partai politik (parpol) di televisi selama pemilihan legislatif (pileg).
Lima tahun berselang, Yuswohady mencatatkan total pengeluaran belanja iklan negara sambil merinci nilai belanja iklan politik selama pemilu pada tahun tersebut.
Berikut catatan pengeluaran iklan yang tergabung dalam risetnya yang berjudul Triple Winning Economies Marketing Outlook 2024:
Baca Juga: Pengusaha Pede Pertumbuhan Ekonomi di Tahun Politik Mentereng
Pada tahun 2014, pengeluaran iklan selama kampanye pemilihan mencapai Rp 186 miliar, dengan 5.775 spot iklan di televisi. Dalam persaingan antara Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla, Prabowo-Hatta mendominasi dengan porsi 50,2%, setara dengan 2.900 spot iklan, sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla mencapai 49,8%, atau 2.875 spot iklan.
Belanja iklan partai politik selama pemilihan legislatif mencapai Rp 340 miliar. Lima partai teratas dalam anggaran iklan televisi adalah Hanura (Rp 70,5 miliar), Partai Demokrat (Rp 56,8 miliar), PAN (Rp 43,8 miliar), Golkar (Rp 39,88 miliar), dan PDIP (Rp 33,58 miliar).
Pada tahun 2019, sektor pemerintah dan organisasi politik masih mendominasi belanja iklan pada kuartal pertama dengan pertumbuhan mencapai Rp 2 triliun atau 11%. Kategori lain yang mengikuti termasuk layanan online (Rp 1,9 triliun), perawatan rambut (Rp 1,8 triliun), rokok kretek (Rp 1,7 triliun), dan produk instan makanan (Rp 1,5 triliun).
Lima pengiklan teratas dalam kategori pemerintah dan organisasi politik adalah Calon Presiden & Wakil Presiden dengan pengeluaran Rp 206,6 miliar, diikuti oleh Komisi Pemilihan Umum (Rp 93,2 miliar), Calon Legislatif (Rp 92 miliar), Partai Perindo (Rp 60,7 miliar), dan Partai Hanura (Rp 51,5 miliar).
Sementara, pada pemilu 2024 nanti, Yuswohady memproyeksikan kondisinya terlalu cepat, dan polanya terlalu
abstrak untuk dicermati. Banyak pemangku kebijakan yang mengambil kebijakan yang populis, dan tidak substansial, serta kerapkali tidak pro-bisnis.
Baca Juga: Jelang Libur Akhir Tahun, Pemerintah Bebaskan Visa Kunjungan untuk 20 Negara
Ia menyebut tiga frasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi politik menjelang pemilu yakni uncertainty, unpredictable, dan volatile.
Lebih jauh, pemilu nanti tentu jadi ladang bisnis tersendiri untuk berbagai sektor. Momentum pesta demokrasi membuat ekonomi berputar. Naiknya beberapa sektor bisnis di-drive oleh naiknya sources of demand.
Sementara, meski kontroversial, money politics punya kekuatan untuk menggerakan roda perekonomian, terutama di kalangan akar rumput.
Money politics mendorong consumer spending. Masyarakat mendapatkan uang tunai untuk dibelanjakan. Saat belanja masyarakat naik, perputaran uang juga melaju cepat.
"Faktanya, transaksi yang terpantau di Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) malah meningkat saat minggu tenang pasca kampanye," kata Yuswohady dalam risetnya yang dikutip Suara.com pada Kamis (7/12/2023).
Menurut dia, saldo dana kampanye selalu habis pada saat minggu tenang. "Ketika masa tenang, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menemukan adanya permintaan penukaran uang pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000 yg melonjak. Di Jakarta, besarnya mencapai Rp 113 miliar. Dengan kata lain, money politics seolah menjadi “pelumas perekonomian”," sambung dia.
Menarik disimak, bagaimana perputaran uang serta fampaknya terhadap ekonomi masyarakat saat berlangsungnya pemilu 2024 nanti.