Suara.com - Isu soal lingkungan, khususnya emisi gas rumah kaca (GRK), mengiringi naiknya intensitas gejala perubahan iklim skala global. Untuk membantu mengurangi emisi gas rumah kaca, PT PLN (Persero) menargetkan pencapaian bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025.
Adapun bauran energi listrik berasal dari EBT yang diproduksi PLN, baik dari pembangkit milik sendiri, sewa, maupun independent power producer (IPP).
Energi baru terbarukan itu bertujuan untuk mendukung pencapaian komitmen pemerintah terhadap Perjanjian Paris yang disepakati dalam forum Conference of Parties (COP) ke-21 di Paris, Prancis, yakni mereduksi emisi GRK sebesar 29 persen pada tahun 2030, dengan perbandingan basis skenario Business as Usual.
Sebagai bagian dari penerapan strategi ini, PLN menyertakan pembangkit EBT pada program Clean Development Mechanism (CDM) dan Verified Carbon Standard (VCS). Untuk mengatasi limbah operasional pembangkit, PLN menerapkan pendekatan reduce, reuse, dan recycle (3R) baik untuk limbah non-B3 maupun limbah B3-FABA (Fly Ash & Bottom Ash).
Baca Juga: Ekosistem EV Mesti Ditumbuhkan, PT Perusahaan Listrik Negara Sodorkan Kerja Sama Melalui PLN Mobile
Jenis konversi energi ramah lingkungan yang dikembangkan PLN, misalnya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung, dengan memanfaatkan bendungan-bendungan di Indonesia. PLN juga mendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di 12 kota, yakni Palembang, Tangerang, Tangerang Selatan, DKI Jakarta, Bandung, Bekasi, Semarang, Surabaya, Surakarta, Makassar, Manado, dan Bali.
Pengembangan tenaga listrik dari sampah ini sesuai dengan Peraturan Presiden No 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah, yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 13 Februari 2016.
Selain memanfaatkan hal-hal di atas, Indonesia masih memiliki berbagai potensi sumber lain yang masih bisa dikembangkan, diantaranya tenaga panas Bumi, tenaga air, tenaga bayu, energi kelautan, dan pengembangan pembangkit mikrohidro atau minihidro.
PLN Kembangkan PLTS Terapung Terbesar di Asia Tenggara
Salah satu upaya konversi energi ramah lingkungan yang dikembangkan PLN adalah PLTS terbesar di Asia Tenggara, yakni PLTS Terapung Waduk Cirata, yang terletak di 3 kabupaten, yaitu Purwakarta, Cianjur dan Bandung Barat, Jawa Barat.
Baca Juga: Manfaatkan Limbah Uang Kertas untuk Cofiring PLTU, PLN Indonesia Power Catat Rekor MURI
PLTS ini menjadi etalase percepatan peralihan energi yang ramah lingkungan menuju Net Zero Emissions (NZE) tahun 2060. PLTS yang juga merupakan nomor tiga terbesar di dunia ini mampu mengurasi emisi karbon sebanyak 214.000 ton per tahun.
PLTS Terapung Waduk Cirata memiliki luas 200 hektare dan dapat menghasilkan energi hijau sebesar 192 Megawatt peak (MWp). Energi hijau sebanyak ini bisa memberikan pasokan listrik kepada 50.000 rumah. Waduk Cirata sendiri memiliki luas 6.200 hektare, sehingga kapasitas PLTS terapung ini bisa dimaksimalkan hingga 1,2 Gigawatt peak (GWp).
Menurut Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo, pembangunan PLTS Terapung Cirata ini mendukung pemerintah melakukan transisi energi, dan PLN mengembangkan green enabling transmission line dan smart grid. Pengembangan itu merupakan bagian dari skema ARED (Accelerating Renewable Energy Development) di PLTS ini, sehingga mampu menyuplai listrik dari sumber EBT yang terpisah dan terisolir menuju pusat permintaan listrik di perkotaan.
Darmawan mengatakan, listrik dari PLTS apung tersebut adalah 20 kilovolt (kV), yang disambungkan ke gardu induk, yang kemudian diubah menjadi 150 kV. “Masuk ke jaringan transmisi Jawa-Bali, artinya bakal digunakan oleh rumah tangga dan industri,” katanya.
PLN, kata Darmawan, berkomitmen mempercepat peralihan energi dengan meningkatkan bauran EBT hingga 75 persen, atau setara dengan 61 GW sampai tahun 2040.
Melalui ARED, PLN menargetkan penambahan bauran EBT secara signifikan masuk ke dalam sistem, yakni dari hidropower sebesar 25,3 GW, panas Bumi sebesar 6,7 GW, serta surya dan angin sebesar 28 GW.
PLN Kembangkan Sumber Lain untuk Ramah Lingkungan
Selain menghasilkan listrik dari tenaga surya, PLN juga berupaya mengembangkan sumber lain untuk dijadikan sumber listrik ramah lingkungan. Sumber-sumber ini juga berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang dilakukan secara kolaboratif bersama dengan Kementerian Energi Sumber Daya Energi dan Mineral (ESDM) beserta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kerja sama ini menghasilkan energi hijau bernama hidrogen hijau (green hydrogen), yang diproduksi di 21 green hydrogen plant (GHP) di seluruh Indonesia. Sumber ini berasal dari pembangkit-pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN, yang sudah memiliki hydrogen plant dengan electrolyzer. Alat ini dipakai untuk menghasilkan hydrogen, yang digunakan untuk mendinginkan generator pembangkit listrik.
Sebanyak 21 unit hydrogen plant tersebut bisa menghasilkan 199 ton per tahun, dan dari jumlah itu, hanya 75 ton per tahun yang digunakan untuk kebutuhan pendinginan generator pembangkit listrik. Dengan demikian, akan ada peluang untuk memanfaatkan hidrogen menjadi nilai tambah bisnis PLN dan masuk dalam transisi energi.
Dengan potensi itu, PLN melakukan inovasi memanfaatkan solar PV yang terpasang di kawasan pembangkit milik PLN dan ditambah dengan Renewable Energy Certificate (REC) dari beberapa pembangkit EBT di Indonesia. Melalui cara tersebut, PLN dapat memproduksi 100 persen hidrogen hijau.
“Hidrogen hijau, selain untuk mendinginkan generator pembangkit, kini bisa dipakai untuk berbagai keperluan, seperti industri pupuk, industri bahan kimia, cofiring pembangkit, hingga untuk Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV),” kata Darmawan.