Suara.com - UMKM Sinar Sawah, sebuah usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Yogyakarta, menceritakan perjalanan bisnisnya dalam Program UMKM BRILian, sebuah event yang didukung oleh BRI untuk mendukung UMKM di wilayah DI Yogyakarta.
Usaha ini bermula 15 tahun lalu dan merupakan turunan dari usaha ibu, kakak, hingga Parjiyem sendiri. Menawarkan keripik belut, bisnis keluarga Parjiyem menarik perhatian banyak orang hingga banyak yang ingin belajar langsung dari mereka.
“Usaha ini dimulai dari 15 tahun lalu, sekitar 2007. Namun, jauh sebelum itu, usaha ini sudah diturunkan dari ibu saya, kakak kemudian saya sendiri,” ucap Parjiyem menceritakan awal perjalanan usaha miliknya kepada Suara.com.
Parjiyem dan keluarganya dengan terbuka memberikan tips agar pengolahan keripik belut menjadi lebih optimal dan sesuai selera. Meskipun demikian, mereka tidak memberikan rahasia resep keluarganya kepada siapapun.
Baca Juga: 3 Pemain Timnas Indonesia dan Bek Filipina Dispesialkan Bojak Hodak, Anak Emas Persib?
Awalnya hanya membantu ibu dan saudara membuat keripik belut, Parjiyem kemudian terinspirasi untuk memulai bisnisnya sendiri. Awalnya, ia mencoba pasar dengan memproduksi 25 kilogram keripik belut per hari, namun kini UMKM Sinar Sawah bisa menghasilkan hingga 150 kilogram per hari.
Namun, pandemi COVID-19 memberikan tekanan ekonomi yang signifikan pada usaha tersebut. Omzet anjlok parah dan bahkan hingga kini belum pulih sepenuhnya. Meski terdampak, Parjiyem berusaha agar usahanya tetap beroperasi.
“Reseller sama sekali tidak beli, di pasar tidak terjual karena lockdown dan pesanan juga sangat sepi. Dalam satu bulan biasanya produksi hingga enam kali sekitar 5 kwintal, saat pandemi itu hanya satu kali saja sekitar satu kwintal,” ungkap Parjiyem.
“Benar-benar jatuh waktu itu. Keuangan usaha terpukul,” sambung dia.
Keputusannya untuk tidak menutup usaha meski sementara, semata-mata tidak hanya demi dapur rumah tangganya tetap ngebul. Tapi juga mempertimbangkan belasan pekerja yang menggantungkan diri mereka kepada UMKM Sinar Sawah.
Baca Juga: Perjalanan Karier Sepak Bola Radja Nainggolan, 20 Tahun di Eropa, Kini Bakal Merumput di Indonesia
"Ada beberapa orang, termasuk keluarga sendiri yang ikut kami. Jika kami tutup, mereka juga ikut sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujar dia.
Dengan kegigihan Parjiyem, UMKM Sinar Sawah tetap mampu bertahan di tengah gempuran ekonomi kala Pandemi COVID-19. Ketika usahanya kembali bergeliat, tantangan baru muncul, kelangkaan bahan baku, terutama belut sawah, menjadi salah satu yang harus ia hadapi.
Parjiyem menjelaskan bahwa situasinya saat ini berbeda dengan masa lalu. Sekarang, dia kesulitan mendapatkan pasokan belut dari Sleman dan sekitarnya.
Menurutnya, belut sawah semakin sulit didapatkan. Jika sebelumnya para pencari belut bisa mendapatkan lebih dari satu kilogram dalam semalam, kini sulit untuk mendapatkan setengah kilogram.
"Sementara itu, kebutuhan belut semakin meningkat karena tidak hanya kami, tetapi juga banyak pengusaha lain yang mengolah belut menjadi berbagai olahan makanan," ujar dia.
Saat ini, Parjiyem mendapatkan pasokan belut dari Jawa Timur karena dianggap memiliki kualitas bagus.
Untuk satu kilogram belut, Parjiyem mengatakan bahwa belut tersebut dapat diolah menjadi 500 gram keripik belut dengan kualitas grade A. Sedangkan untuk kualitas di bawahnya, dari satu kilogram belut dapat diolah menjadi 700-900 gram keripik.
"Kami menyesuaikan kualitas. Untuk grade A, harganya memang lebih tinggi karena kualitasnya, sementara yang di bawahnya pasti lebih terjangkau," ungkapnya.
Parjiyem menekankan bahwa usahanya tidak hanya menghasilkan produk, tetapi juga terus berupaya untuk mengembangkan diri agar UMKM yang ia bangun dapat terus berkembang.
Hal ini tidak lepas dari dukungan yang diberikan oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dalam program pengembangan UMKM.
Parjiyem merupakan salah satu dari jutaan pelaku UMKM di Indonesia yang merasakan manfaat dari KUR BRI. Dia pernah mengalami kesulitan meminjam uang dari rentenir.
"Saya sudah tiga kali mendapatkan KUR BRI. KUR dari BRI benar-benar membantu pelaku UMKM seperti saya. Sebelum mengetahui program ini (KUR BRI), sekitar tahun 2016, saya sering meminjam uang dari rentenir keliling," ujarnya.
Dengan bunga yang tinggi, kehadiran rentenir tentu sangat memberatkan para pelaku UMKM.
"Terus terang, karena tingkat pendidikan saya rendah, waktu itu saya takut untuk meminjam dari bank. Bukan hanya saya, tetapi juga banyak teman-teman saya," kata Parjiyem.
"Setelah merasakan manfaat KUR BRI, sekarang saya benar-benar merasakannya," kenang Parjiyem yang kini mulai merambah berbagai komoditas di luar keripik belut.