Suara.com - Pengamat sekaligus pakar hukum perdagangan internasional, Elisa Sugito menyinggung potensi nikel Indonesia di perdagangan internasional.
“Saya melihat bahwa pemahaman terkait dengan potensi dan daya tawar nikel Indonesia di dunia Internasional menjadi isu yang kurang populis di kalangan mahasiswa maupun masyarakat saat ini," kata dia dalam forum bedah buku Nikel Indonesia: Kunci Perdagangan Internasional yang masuk dalam agenda Kongres HMI ke XXXII di Kluwiland Pontianak, Senin (27/11/2023) kemarin.
"Padahal jika kita mencermati lebih jauh, bahwa nikel Indonesia sejatinya memiliki peranan yang sangat krusial terhadap peningkatan pendapatan negara” sambung Elisa Sugito, selaku penulis buku tersebut.
Menurut dia, Indonesia yang memegang peran penting dalam perdagangan komoditas yang saat ini tengah diburu itu membuat daya tawar Indonesia menjadi lebih kuat terhadap market share global untuk nikel.
Baca Juga: Gibran Dinilai Cuma Bisa Jiplak Program Jokowi, Parpol Pendukung Ganjar: Belum Saatnya Jadi Cawapres
“Kans Indonesia menjadi pemasok nikel terbesar di dunia bukan menjadi hal yang mustahil untuk diraih. Jika kita merujuk pada data yang dikeluarkan oleh badan survei geologis Amerika Serikat (AS) atau US Geological Survey, produksi nikel Tanah Air mencapai 1 juta metrik ton pada 2021 atau menyumbang 37,04% nikel dunia," ujarnya.
"US Geological Survey mencatat, total produksi nikel dunia pada 2021 sebanyak 2,7 juta metrik ton. Jumlah ini meningkat 7,57% dibandingkan produksi tahun sebelumnya yang berjumlah 2,51 juta metrik ton," imbuhnya.
Elisa Sugito menjelaskan, dengan potensi nikel Indonesia yang besar, seharusnya membuat Indonesia menjadi pemain utama dalam perdagangan nikel dan bukan hanya sebagai produsen bahan mentah atau row materials bijih nikel.
"Terkait kebijakan hilirisasi yang selalu di glorifikasikan oleh Presiden Joko Widodo bukanlah hanya omong kosong belaka. Hal ini terbukti dengan data yang mengatakan bahwa terdapat nilai tambah ekspor nikel ke luar negeri yang melejit puluhan kali lipat menjadi USD 33,8 miliar atau Rp510-an triliun di tahun 2022 dibandingkan dengan sebelum adanya hilirisasi yang mana Indonesia hanya meraup USD 5,4 miliar pada tahun 2013 lalu” ujar lulusan International Trade Law Universitas Indonesia (UI) itu.
Namun demikian, ia mengingatkan kepada pemerintah terkait kebijakan tersebut yang mungkin menimbulkan efek domino ke berbagai sektor misalnya saja terkait dengan international relationship antar negara.
Baca Juga: United Tractors (UNTR) Bakal Borong Saham Tambang Nikel Senilai Rp1,6 Triliun
“Kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo terbilang sangat berani menurut saya. Padahal jika kita merujuk pada Pasal XI:1 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 bahwa memang Indonesia melanggar kesepakatan pasal tersebut. Namun, memang terjadi simalakama antara kebijakan nasional dan Unfairness Treatment Hukum Investasi Internasional. Tentunya menjadi menarik untuk ditunggu bahwa dalil hukum apa yang akan digunakan oleh Indonesia terkait dengan pengajuan banding terhadap perkara sengketa DS 592 di Dispute Settlement Body (DSB) terkait dengan larangan ekspor bijih nikel.” Ujar Elisa Sugito.
Elisa Sugito menjelaksan kepada peserta diskusi dan bedah buku bahwa terkait dengan posisi banding yang sedang diajukan oleh Indonesia akan memakan waktu yang sangat lama dan berlarut.
“Mengenai putusan atas banding yang diajukan oleh Indonesia, saya memperkirakan akan diputus antara 7 sampai 10 tahun kedepan. Namun dalam masa waktu itu Indonesia dapat menyiapkan basis infrastruktur yang lebih kuat untuk pengolahan nikel dalam negeri, meskipun apabila putusan banding mengalahkan Indonesia, tentunya Indonesia akan mendapatkan berbagai macam kerugian yang nyata, semoga saja tidak” Ujar Elisa Sugito diakhir penjelasannya terhadap pertanyaan peserta terkait dengan gugatan banding yang dilakukan oleh Indonesia.
Forum bedah buku tersebut dihadiri juga oleh Dr. Syarifah Ema Rahmaniah selaku Ketua Jurusan Sosiologi dan FISIP Universitas Tanjungpura, Muh. Jusrianto, M.Si selaku Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI sekaligus Kandidat Ketua Umum PB HMI, Vidiel Tania Pratama, ST.,MM selaku Ketua Bidang Digitalisasi dan Inovasi PB HMI sekaligus Kandidat Ketua Umum PB HMI, dan A. Ikram Rifqi,SKM.,M.Sc. selaku Ketua Umum HMI Badko Sulselbar sekaligus Kandidat Ketua Umum PB HMI.
Forum ini juga berjalan dengan sangat meriah karena dihadiri lebih dari 300 peserta dari berbagai daerah yang tersebar di Indonesia baik dari kalangan mahasiswa, praktisi, maupun akademisi.
Tidak hanya memeriahkan semarak Kongres HMI ke XXXII. Forum ini juga bertujuan untuk mengungkap potensi nikel Indonesia, kebijakan luar negeri yang diambil, dan mengenai status quo nikel Indonesia di perdagangan Internasional.