Suara.com - Pemerintah memperkirakan libur Natal dan Tahun Baru (nataru) akan ada 107,63 juta pergerakan orang. Namun berbeda dengan lebaran yang tujuannya adalah mudik, tujuan libur Nataru lebih banyak diisi dengan tujuan wisata.
Untuk itu pemerintah diminta untuk tidak melakukan pelarangan angkutan barang agar tidak merugikan pelaku industri dan masyarakat secara umum.
Momen liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru) bisa tidak lagi bermakna bagi masyarakat jika kebutuhan-kebutuhan logistik di destinasi tujuan menjadi langka karena adanya pelarangan angkutan logistik. Tidak hanya itu, pelarangan angkutan logistik ini juga otomatis akan menyebabkan kerugian negara secara ekonomi.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto meminta pemerintah untuk tidak lagi melakukan pelarangan logistik saat momen libur panjang seperti halnya Nataru dan Lebaran.
Menurutnya, pelarangan angkutan logistik saat momen-momen libur panjang itu jelas akan membuat barang-barang yang dibutuhkan masyarakat menjadi naik karena kurangnya pasokan.
"Harga barang-barang nanti bisa bergejolak. Selain itu, masyarakat juga akan merasakan kelangkaan barang apabila angkutan logistik tidak sampai tepat waktu,” ujarnya ditulis Sabtu (25/11/2023).
Mahendra menegaskan pelarangan angkutan logistik ini juga akan membebani pengusaha. Karena, pengusaha harus memproduksi lebih banyak barang untuk disalurkan lebih cepat guna menjaga pasokan daerah.
Tambahan produksi ini tentu akan menghabiskan biaya, mulai dari kenaikan harga bahan baku, operasional produksi, upah lembur hingga kenaikan ongkos truk.
Dia mengatakan sebenarnya ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah selain melakukan larangan terhadap angkutan logistik untuk mencegah terjadinya kemacetan di jalan.
Caranya, yaitu dengan melakukan rekayasa lalu lintas. Mahendra menilai cara ini akan lebih efektif diterapkan sekaligus menjaga pasokan barang dibanding pelarangan angkutan logistik.