Energy Watch Nilai Skema Power Wheeling Bisa Kecilkan Peran Negara Terhadap Listrik Nasional

Achmad Fauzi Suara.Com
Rabu, 22 November 2023 | 09:20 WIB
Energy Watch Nilai Skema Power Wheeling Bisa Kecilkan Peran Negara Terhadap Listrik Nasional
Seorang pekerja PLN sedang memperbaiki jaringan listrik di Menteng, Jakarta Pusat. [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengamat Energi dari Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean menyebut kebijakan skema power wheeling atau pemanfaatan jaringan listrik bersama bisa mengecilkan peran negara dalam kelola kelistrikan nasional. Maka dari itu, dirinya meminta pemerintah dan DPR bisa menghentikan pembahasan power wheeling RUU EBET.

"Rancangan undang-undang energi baru terbarukan atau RUU yang memuat power wheeling merupakan upaya untuk menghabisi peran negara dan memelihara kepentingan oligarki," ujarnya yang dikutip, Rabu (22/11/2023).
 
Ferdinand melanjutkan, RUU tersebut memberikan akses listrik milik negara berupa jaringan, transmisi, dan distribusi kepada swasta langsung ke pelanggan. Dengan kata lain, bilang dia, swasta bisa menjual listrik ke pelanggan dengan menggunakan infrastruktur negara.
 
Menurutnya, yang lebih parah dalam undang-undang itu juga akan dibentuk badan usaha ketenagalistrikan yang akan mengatur penggunaan jaringan oleh swasta tersebut.

"Ini kan parah. Saat ini, kebutuhan energi negara sudah dipenuhi BUMN," kata dia.
  
Ferdinand menambahkan, negara maju seperti China saja masih membangun PLTU karena murah. "Kenapa Indonesia sok-sokan menjadi pelopor energi terbarukan yang sama-sama kita ketahui masih mahal sekali investasinya serta masih minim investor," tutur dia.
 
Bisa Rugikan Masyarakat

Sebelumnya, Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development (CFESD) - INDEF, Abra Talattov menilai skema power wheeling (pemanfaatan bersama jaringan listrik) dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sekali tidak memiliki urgensi. Menurut dia, kebijakan inimerupakan bentuk pemaksaan yang sangat merugikan rakyat.

Baca Juga: Ekonom Sebut Skema Power Wheeling Bisa Rugikan Rakyat

"Saya menilai skema power wheeling ini hanya sekedar sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi investasi pembangkit EBT, padahal kondisinya sangat tidak urgen berkaca pada kondisi eksisting sektor ketenagalistrikan saat ini," ujarnya yang dikutip, Rabu (22/11/2023).

Pemerintah sebenarnya telah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPTL disebutkan jika target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 GW dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara 11,8 GW.

"Artinya, apabila green RUPTL bisa dijalankan secara konsisten saja maka secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga 2030 akan mencapai 51,6 persen," kata dia.

Abra melanjutkan, ide penerapan skema power wheeling menjadi tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi pasokan berlebih listrik yang terus melonjak. Kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara pasokan dan permintaan tenaga listrik. Terbukti oversupply listrik terus meningkat tiap tahunnya dimana oversupply pada tahun 2022 telah menyentuh 7 GW.

Situasi kondisi berlebih listrik tersebut berpotensi terus membengkak, karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari mega proyek 35 gigawatt (GW).

Baca Juga: Begini Dampak yang Timbul Jika Skema Power Wheeling Diberlakukan

Beban tersebut berpotensi menjadi bom waktu bagi PLN karena akan ada lonjakan kewajiban capacity payment dan denda yang harus dikeluarkan PLN akibat penjualan listrik di bawah capacity factor. Konsekuensinya, untuk mengurangi beban operasional PLN tentu akan mengurangi produksi listrik dari pembangkitnya sendiri demi dapat menyerap produksi listrik dari IPP.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI