Suara.com - Koalisi CSO menyatakan, dokumen rancangan rencana investasi dan kebijakan komprehensif (comprehensive investment and policy plan/CIPP) kesepakatan kemitraan JETP (Just Energy Transition Partnership) dinilai masih setengah hati pada upaya transisi energi yang berkeadilan.
Pasalnya, minimnya target pensiun dini PLTU dalam draf rencana ini, berpotensi memperlambat langkah reformasi sistem energi Indonesia menjadi lebih hijau dan ambisius.
Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan, dokumen CIPP JETP masih cukup kontradiktif. Target bauran energi terbarukan dalam CIPP cukup ambisius, yakni mencapai 44% pada 2030. Namun, di sisi lain, hanya dua PLTU yang masuk daftar pensiun dini dalam skema ini, yaitu PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon.
“Sebagian PLTU yang masuk pensiun dini, yakni PLTU Cirebon-1, sebenarnya sudah masuk dalam skema ETM (energy transition mechanism/mekanisme transisi energi. Jadi seolah tidak ada niatan untuk benar-benar melakukan penutupan PLTU batu bara. JETP menjadi tidak jelas, awalnya mau pensiun PLTU batu bara justru tidak dilakukan dengan serius,” kata Bhima, Selasa (21/11/2023).
Harryadin Mahardika, Direktur Program Transisi Bersih, menambahkan, hal yang sama pernah dilakukan Indonesia. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diterbitkan pada 2014, Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan 23% pada 2023 dan 31% pada 2050.
Namun pada saat yang sama, Indonesia juga memulai Program 35 Gigawatt (GW) yang mayoritas adalah PLTU batu bara. Penambahan PLTU akhirnya justru menggerus ruang pengembangan energi terbarukan, sehingga target bauran energi hijau tidak tercapai.
“Dalam dokumen CIPP, PLTU captive tidak dimasukkan. Padahal, pertumbuhannya sangat tinggi dari 1,3 GW pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023, dan masih terus bertambah. Hal ini akan menjadi penghalang besar yang dapat menggagalkan target nol emisi Indonesia, seperti sebelumnya. Meski target CIPP tercapai 100%, target nol emisi Indonesia tidak akan pernah tercapai lantaran PLTU captive akan tetap hasilkan emisi dalam jumlah besar,” jelas Harryandi.
Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia mengungkapkan, sekalipun tetap perlu dihargai sebagai salah satu inisiatif transisi energi, dokumen CIPP masih kompromistis dan sangat jauh dari trayektori untuk menahan kenaikan suhu pada 1,5 derajat Celcius. Pensiun dini PLTU yang hanya 1,6 GW dan PLTU captive yang tidak dihitung dalam dokumen CIPP, akan jadi ganjalan skenario menuju net zero emission.
“Belum lagi kalau kita bicara tentang rencana pemerintah dan sektor migas untuk menaikkan produksi minyak bumi menjadi 1 juta barel per hari (bph) dan gas bumi menjadi 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030. Juga berbagai solusi palsu berbasis batu bara yang difasilitasi oleh RUU EBET. Semuanya itu berpotensi melumpuhkan skenario transisi energi Indonesia secara keseluruhan. Saya khawatir JETP bisa berakhir menjadi sebuah boutique project saja, tidak signifikan atau bahkan menjadi kosmetik dalam kompleksitas transisi energi Indonesia,” tegasnya.
Baca Juga: Kementerian Erick Thohir Dorong Perencanaan Matang di Program TJSL
Asal tahu saja dokumen kebijakan dan komitmen investasi atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) telah diresmikan pemerintahan. Dokumen ini berisi rencana rinci investasi Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia.