Suara.com - Aksi boikot produk-produk yang diduga pro Israel di Indonesia dikhawatirkan berdampak pada PHK lantaran penurunan produksi dan penjualan produk.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey berpendapat, jika produsen atau pemasok terus tergerus akibat boikot, investasi dapat terhenti dan pertumbuhan pasti tidak akan terjadi. Menurutnya, PHK menjadi pilihan yang harus dihadapi jika situasi terus memburuk.
Aksi boikot yang terus dilakukan dalam jangka panjang, dikhawatirkan berdampak langsung pada produktivitas dan penjualan.
Jika produk tidak laku di pasaran karena aksi boikot, perusahaan ritel pun tidak akan membeli dari produsen, yang kemudian akan mengurangi produksi.
Baca Juga: Cuek Banyak Anak Kecil Jadi Korban, Penasihat PM Israel: Kan Kita Tidak Tahu Penyebab Kematiannya
Penurunan produktivitas juga membuat pengusaha bimbang mengeluarkan upah karena pertumbuhan tenaga kerja biasanya mencapai 2-3 persen setiap tahunnya.
Roy memproyeksikan bahwa aksi boikot terhadap produk terafiliasi Israel berpotensi menurunkan belanja masyarakat hingga 4 persen. Sehingga, ia berharap agar pemerintah dapat memastikan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat dan menjaga keberlanjutan usaha serta kepastian hukum bersama pelaku usaha.
Tanggapan Bank Indonesia
Bank Indonesia, melalui Kepala Kantor Perwakilan Wilayah BI NTB, Berry A Harahap pada awal pekan ini memperkirakan, aksi boikot Israel tidak akan berlangsung lama.
"Meskipun terdapat pengaruh dalam jangka pendek, seperti yang kita lihat pada periode-periode sebelumnya, situasi ini biasanya akan kembali ke kondisi normal. Walaupun mungkin membutuhkan waktu, ini merupakan tantangan bagi dunia usaha," kata dia.
Baca Juga: Profil Osama bin Laden: Suratnya untuk AS Kembali Viral, Bawa-bawa Israel
Berry menyoroti tingginya sentimen terhadap Israel di Indonesia saat ini, namun ia meyakini sentimen tersebut akan mereda seiring berakhirnya konflik antara Israel dan Palestina. Meskipun memerlukan waktu beberapa bulan, diharapkan kunjungan konsumen ke restoran cepat saji seperti McDonald's akan pulih.
Gerakan Boycott, Divestment, Sanction (BDS) Produk Israel
Di tengah kondisi yang memilukan di Gaza, Palestina. Sejak tahun 2005 sudah ada dukungan masyarakat dunia melalui gerakan oycott, Divestment, Sanction (BDS).
Gerakan yang ditandai tagar #BDSMovement di media sosial ini berisi orang-orang yang menyebut merek-merek yang memiliki hubungan dengan Israel seperti McDonald's, Starbucks, Disney, Domino's Pizza hingga Burger King.
Gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) terinspirasi dari gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan. Sementara Israel disoroti karena dianggap sebagai rezim kolonialisme, apartheid, dan penindasan terhadap warga Palestina. Menurut BDS, situasi di Gaza disebabkan bungkamnya dunia atas perbuatan Israel.
BDS menilai bahwa Israel terlibat dalam diskriminasi, pendudukan, dan penjajahan terhadap warga Palestina, termasuk penolakan hak pengungsi untuk kembali ke rumah mereka.
Prinsip utama BDS adalah warga Palestina memiliki hak yang sama dengan umat manusia lainnya. Gerakan ini melibatkan serikat pekerja, asosiasi akademis, religi, dan gerakan akar rumput di seluruh dunia.
Meski menunjukkan gerakan positif, BDS juga tidak lolos dari kritik, menurut The Guardian, aksi ini turut berdampak pada anjloknya ekonomi Palestina pada kisaran 2017-2018 karena ketergantungan negara itu terhadap Israel. Bahkan, ada yang menuduh BDS sebagai kelompok anti semit, meski hal ini tidak pernah terbukti.
BDS juga sudah berkali-kali mencoba dihentikan pemerintah Israel dan AS dan menyematkan gerakan ini sebagai aksi terorisme.
Meski dengan menurut laporan Vox, aksi BDS membuat produk domestik bruto (PDB) Israel rugi US$15 miliar, menurut Rand Corporation. Meski begitu, laporan ini adalah bagian kecil dari PDB ISrael yang lebih dari US$500 miliar,.
Sementara, Al Jazeera dalam laporannya pada 2018 lalu mengatakan, gerakan BDS berpotensi membuat Israel kehilangan uang hingga US$11,5 miliar per tahun.
Pernyataan itu diperkuat dengan laporan pemerintah Israel pada 2013 yang telah disunting dengan keterangan bahwa boikot tersebut berlangsung dalam jangka waktu bertahun-tahun secara ekstrem.
Sedangkan riset dari Brooking Institution menulis, aksi boikot Israel tidak begitu berdampak pada ekonomi negara Yahudi itu karena sektor utama Israel yang berasal dari sektor barang pengolah atau pendukung yang tidak tergantikan, seperti semikonduktor.
Namun, data dari Bank Dunia justru menunjukkan ekspor Israel mengalami penurunan pada rentang tahun 2014 hingga 2016, diduga kuat karena tekanan politik yang berasal dari BDS.
Total kerugian yang diderita Israel kala itu mencapai US$6 miliar. Di saat yang sama, investasi di Israel menurun hingga 50% di angka US$6 miliar setelah militer Israel menyerang Gaza yang menewaskan 1.462 warga sipil.
Sayangnya, meskipun dengan berbagai dukungan aksi boikot pendukung Israel. Langkah ini belum berdampak banyak terhadap agresi militer Israel di wilayah Palestina. Hal ini ditunjukkan dengan tetap tingginya serangan yang dilancarkan Israel, tidak hanya tahun ini tapi juga pada tahun-tahun sebelumnya.
Berdalih menyerang Hamas, Israel justru secara terbuka membunuh ribuan nyawa warga sipil tak bersalah.