Suara.com - Matahari mulai menyingsing ke barat ketika penulis tiba di sebuah kampung yang cukup jauh dari pusat Kabupaten Bantul.
Ngentakmangir, sebuah kampung yang berada di wilayah Padukuhan Kwalangan, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul sekilas tidak jauh berbeda dengan kampung lain.
Namun, kampung ini adalah salah satu bukti bahwa perjuangan tidak akan sia-sia jika dilakukan secara bersama-sama dengan tujuan mewujudkan mimpi yang luhur.
Berbeda dengan daerah lain di DI Yogyakarta, akses internet pernah menjadi 'barang mahal' di Ngentakmangir. Bahkan, tidak hanya 'mahal' melainkan sulit didapatkan.
Jangankan akses internet, sinyal seluler saja kadang hilang atau byarpet (kadang hilang, kadang muncul).
Sejatinya, masyarakat di Ngentakmangir sudah berupaya meminta ke berbagai provider agar mau membuka akses internet di wilayah itu. Sayangnya, karena lokasi yang cukup terisolir membuat semua provider itu kesulitan untuk menyediakan sambungan internet hingga ke wilayah mereka.
"Jangan jaringan internet kabel. Jaringan internet seluler saja di kampung kami itu sangat sulit," ucap Yahya Nur, memulai perbincangan kami pada Senin (16/10/2023) sore.
Yahya mengakui, perjuangan dirinya bersama warga desa tidaklah mudah. Bahkan, masyarakat setempat hampir putus asa dengan kondisi wilayah mereka yang sangat sulit mengakses internet.
Kondisi ini diperparah dengan Pandemi Virus Corrona (Coronavirus Disease / COVID-19) yang menerjang Indonesia pada awal tahun 2020 silam.
"Ketika pandemi COVID-19, banyak orang yang akhirnya kerja dari rumah, baik swasta maupun pegawai (ASN, red). Pelajar kan juga jadi belajar dari rumah, waktu itu," kenang Yahya, mengingat kembali momen ia bersama warga setempat yang berjuang demi meningkatkan taraf hidup mereka.
Warga desa tak mau berdiam diri. Dengan semangat gotong royong, penduduk setempat melintas berbagai halangan akhirnya berhasil eluar dari keterbatasan ini dan mengubah kampung mereka menjadi sebuah kampung internet.
"Agar anak-anak (pelajar), pekerja dan semua warga tanpa terkecuali bisa menikmati akses internet tanpa terkendala. Kami bergotong royong agar bisa dirasakan di semua rumah (warga)," kata Yahya.
Gayung bersambut, Ngentakmangir akhirnya mendapatkan akses internet pada tahun 2021 silam. Fasilitas ini memang tidak mewah, namun apa yang mereka milik hingga saat ini tersebut tidak lepas dari keinginan kuat dan swadaya warga.
Meskipun sambungan internet tidak menggunakan kabel optik dan masih mengandalkan koneksi nirkabel, namun keterbatasan ini tidak menyurutkan semangat mereka, meski harus bergantian ketika melakukan sekolah daring ataupun kepentingan pekerjaan.
Seiring berjalannya waktu, aksi gotong royong demi akses internet yang lebih baik ini ternyata disambut baik oleh banyak kalangan. Semakin banyak pula orang yang menginginkan kemudahan akses internet.
Guna mendukung operasional ketersediaan internet di Ngentakmangir, kata Yahya, warga iuran untuk mengumpulkan dana untuk langganan internet yang berhasil mereka upayakan secara swadaya itu.
"Agar koneksi yang didapat stabil. Kami mengupayakan agar ada jadwal untuk warga yang kemudian dikumpulkan di satu tempat dengan koneksi yang stabil," ungkap Yahya.
Seiring waktu berjalan, kebutuhan internet semakin tinggi. Terlebih, dengan adanya kebijakan sekolah daring dan work from home memaksa masyarakat di Ngentakmangir akan kebutuhan internet yang lebih besar.
Warga lantas kembali berupaya secara swadaya untuk menghadirkan koneksi internet dengan kecepatan yang lebih dapat diandalkan. Sayang, karena jarak tower penyedia layanan yang cukup jauh, membuat mereka kesulitan mendapatkan hal ini.
Ditambah lagi, biaya pembangunan tower baru untuk menangkap sinyal sangat mahal dan tidak terjangkau untuk kantong warga. Namun, hal ini tidak menghentikan warga Ngentakmangir.
Yahya bersama warga lantas berinisiatif untuk memodifikasi antena penangkap sinyal. Penangkap sinyal buatan sendiri ini dibuat menggunakan paralon besi dan sejumlah perlengkapan yang terbuat dari stainless.
Setelah berhasil memindahkan tower, warga kemudian menarik kabel dari satu rumah ke rumah lainnya untuk dipasang sebagai pemancar WiFi. Semua proses ini dilakukan secara gotong royong, termasuk tenaga dan biaya yang diperlukan.
Hingga pada akhirnya, hampir seluruh rumah di kampung tersebut telah dilengkapi dengan pemancar WiFi masing-masing. Dengan kerja sama dan semangat gotong royong, mereka berhasil menciptakan lingkungan yang memungkinkan sekolah daring dapat dilakukan dari rumah masing-masing.
"Uang dari warga yang ingin mendapatkan akses internet kita gunakan untuk membayar biaya langganan internet. Selain itu , uang yang kita dapatkan secara bulanan itu (sisanya) kita simpan sebagai uang kas," ungkap Yahya.
Uang kas itu, kata Yahya, digunakan untuk berbagai kebutuhan operasional jaringan internet wi-fi kampung, salah satunya perawatan.
Semua uang dari warga sepenuhnya digunakan untuk mendukung kemudahan akses internet untuk masyarakat sendiri. Yahya dan pegiat internet kampung Ngentakmangir sama sekali tidak mengambil keuntungan dari aksi mereka.
Yahya menegaskan bahwa sistem gotong royong ini masih berlangsung hingga saat ini, di mana setiap warga turut menanggung biaya langganan dan iuran bulanan yang digunakan untuk membayar tagihan dari penyedia layanan.
Kebersamaan dan gotong royong ini berbuah manis. Kampung Ngentakmangir yang dulu kesulitan mendapatkan akses internet didapuk menjadi kampung internet yang tersedia selama 24 jam.
Kisah di Kampung Ngentakmangir adalah satu dari sekian kawasan yang masih terisolasi akses internet.
Berdasarkan data yang dikutip dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) RI, hingga awal tahun 2023, ada 2881 desa yang belum mempunyai akses internet memadai.
Data ini merujuk pada laporan Kemendesa PDTT melalui program pendamping desa yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sedangkan dikutip data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI1), jumlah pengguna internet di Indonesia 'hanya' 143,26 juta atau sekira 55% dari populasi. Artinya, masih ada 45% sisanya yakni sekira 117 juta masyarakat yang masih belum tersentuh internet.
Data ini menunjukkan bahwa masih terdapat pekerjaan rumah pembangunan infrastruktur telekomunikasi agar internet dinikmati di tiap jengkal wilayah Indonesia.
Sebagai informasi, tidak hanya wilayah dengan kategori tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Masih banyak daerah yang tak masuk kategori 3T tetapi tidak tersentuh sinyal. Hal itu, menjadi tantangan tambahan karena kerangka pembangunan infrastruktur saat ini baru mengacu pada daerah 3T yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal.
Hal pula yang menjadi semangat Kementerian Komunikasi dan Informasi agar akses internet bisa didapatkan semua warga Indonesia secara merata.
Kementerian Kominfo pada 2022 lalu bahkan mempercepat transformasi digital nasional, dengan terus membangun infrastruktur digital lebih merata di seluruh tanah air.
Komitmen pemerintah melalui Kementerian Kominfo dalam pemerataan akses internet dibuktikan dengan adanya komitmen pembiayaan pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G di berbagai daerah.
Saat ini, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp11 triliun untuk menyebarkan akses internet di seluruh wilayah Indonesia.
Jumlah ini merupakan 63% dari total anggaran Kementerian Kominfo, yang kemudian dialokasikan kepada Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) untuk penyediaan akses internet. Anggaran Kominfo sendiri mencapai Rp 19 triliun, sehingga Bakti mendapatkan dana sebesar Rp 11 triliun untuk memastikan akses internet tersedia di seluruh negeri.
Tugas Bakti meliputi pembangunan dan persiapan infrastruktur digital, literasi digital, serta transformasi digital pemerintahan. Untuk mempercepat proses pembangunan infrastruktur, Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi telah mengumumkan pembentukan Satgas Bakti Kominfo. Satgas ini bertugas menyelesaikan berbagai proyek yang diamanahkan kepada Bakti, termasuk membangun BTS, mengembangkan jaringan serat optik Palapa Ring, mempersiapkan Hot Backup Satellite (HBS), dan mengoperasikan satelit Satria-1.
Satgas diberikan waktu satu tahun untuk menyelesaikan semua tugas ini. Masa kerja Satgas dimulai dari Oktober 2023 hingga Oktober 2024, sejalan dengan masa jabatan Budi Arie Setiadi sebagai Menteri Kominfo. Saat ini, terdapat 1.277 BTS yang masih belum aktif dan 534 BTS mengalami masalah keamanan yang perlu ditangani di lapangan.