SK DATIN KLHK Disebut Berpotensi Intimidasi Pemilik Kebun Sawit

Iwan Supriyatna Suara.Com
Senin, 16 Oktober 2023 | 16:02 WIB
SK DATIN KLHK Disebut Berpotensi Intimidasi Pemilik Kebun Sawit
Ilustrasi panen buah sawit. [Antara/Iggoy el Fitra]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang memuat data dan informasi kegiatan usaha yang terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang perkebunan (SK DATIN) berpotensi menimbulkan intimidasi terhadap para pelaku usaha perkebunan, baik perusahaan maupun petani sawit.

Pasalnya, ungkap Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Hukum Universitas Al Azhar Jakarta, Dr Sadino, SH, MH, pihak pelaku usaha perkebunan selaku subyek hukum dalam SK DATIN tersebut, tidak pernah dimintai penjelasan berupa pemanggilan klarifikasi maupun verifikasi sehingga dapat saling menjelaskan tentang sumber perizinan dari usaha yang dimiliki dan juga status kawasan yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan perkebunannya.

Hingga saat ini, lanjut sadino dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi kemarin, di Jakarta, telah dikeluarkan SK DATIN I — XV yang mencakup banyak subyek hukum dengan luas perkebunan sawit yang sangat luas.

SK DATIN tersebut berisi subyek hukum, jenis kegiatan, lokasi kegiatan yang meliputi wilayah administratif, kawasan hutan dan kesesuaian ruang, luasan administratif areal terbuka dan skema penyelesaian sesuai UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Bursa CPO Resmi Diluncurkan, RI Miliki Acuan Harga Minyak Sawit

Sadino menjelaskan, setelah diterbitkan SK DATIN oleh Menteri LHK, maka selanjutnya Sekretaris Jenderal KLHK selaku Ketua Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian Implementasi Undang-Undang tentang Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SATLAKWALDA-UUCK) segera menerbitkan surat, hal kelengkapan data Permohonan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) melalui Skema PP No. 24 Tahun 2021.

“Jika diperhatikan dari SK DATIN dan Surat SATLAKWALDA-UUCK, maka secara prosedur harusnya dapat dikoreksi, mengingat pada saat dimasukkan ke SK DATIN tidak dilakukan klarifikasi terlebih dahulu,” tukasnya ditulis Senin (16/10/2023).

Padahal, ujar Sadino, dengan adanya SK DATIN, telah menempatkan posisi Subyek Hukum baik pelaku usaha dari perusahaan maupun non perusahaan yang telah dicantumkan di dalam SK DATIN bersangkutan, sudah dapat menimbulkan akibat hukum bagi mereka.

“Pencantuman nama-nama subyek hukum tersebut telah memposisikan subyek hukum tidak patuh hukum dan dianggap telah melanggar hukum, sehingga subyek hukum menerima dampak dari adanya pencantuman subyek hukum dalam SK DATIN,” katanya menegaskan.

Menurut Sadino, SK DATIN yang selain memuat subyek hukum juga memuat jenis kegiatan, lokasi kegiatan (wilayah administratif, kawasan hutan dan kesesuaian ruang), luasan administratif areal terbuka dan skema penyelesaian sesuai UU Cipta Kerja dilakukan secara sepihak dan diumumkan melalui surat yang tersebar kepada berbagai pihak seharusnya perlu dikoreksi terlebih dahulu karena isi SK DATIN bisa saja tidak sesuai dengan data pelaku usaha perkebunan.

Baca Juga: Komnas HAM Turunkan Tim ke Seruyan Selidiki Kasus Bentrok Warga Vs Perusahaan Sawit

“Pola pencantuman secara kelompok dalam satu SK DATIN tentunya dapat dikatakan merugikan pelaku perkebunan. Seharusnya secara administratif dapat ditempuh dengan pola interaksi pemanggilan sehingga ada fairness dalam pemuatan DATIN sebelum dimasukkan SK DATIN. Semua adalah pekerjaan pejabat pemerintah dan seyogianya dilakukan secara patut menurut hukum,” katanya.

Menurut dia, perlu dicermati pula bahwa data yang dimasukkan dalam SK DATIN hanya memuat data sepihak oleh KLHK. Padahal, pelaku usaha perkebunan mempunyai data yang berbeda dengan data DATIN mengingat kondisi di lapangan yang berbeda.

“Kondisi di Provinsi Sumatera Utara sangat berbeda dengan Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Provinsi lainnya. Begitu juga di Kalimantan kondisi lahan perkebunan di Kalimantan Barat berbeda dengan Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan juga Kalimantan Utara. Begitu di Sulawesi dan lainnya,” katanya.

Bahkan, tambahnya, pelaku usaha perkebunan yang sudah memiliki HGU saja sebelum adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga dimasukkan dalam SK DATIN. Tentu Data yang ada dalam SK DATIN berpotensi merugikan pelaku perkebunan kelapa sawit.

Menurut Sadino, dari berbagai informasi yang diperoleh terungkap bahwa para pelaku usaha perkebunan telah secara sepihak dimasukkan dalam Data SK DATIN dan cenderung dipaksa untuk mengikuti Skema PP 24 tahun 2021.

Bagaimana mungkin HGU yang sudah ada sebelum UUCK harus mengikuti skema PP 24/2021? Bagaimana mungkin masyarakat transmigran dan masyarakat lokal yang sudah mempunyai hak atas tanah seperti SHM, hak garap, hak kelola, hak adat, tempat tinggal yang turun temurun dan lainnya harus mengikuti skema PP 24/2021 yang dinilai membebani karena biayanya mahal?

Menabrak Undang-Undang

Dalam penilaian Sadino, skema PP 24/2021 telah menabrak dan mengabaikan hukum-hukum lain yang berlaku di Indonesia yang sifatnya universal.

Skema PP 24/2021 adalah cacat lahir dan melebihi wewenang sebagai ciri kas dari turunan UUCK yang menyimpang karena telah mengabaikan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dengan kata lain, skemam PP ini telah melanjutkan bentuk “otoriter” karena mendasarkan “penunjukan” kawasan hutan sebagai dasar utamanya.

Ditambahkan, dalam PP 24/2021 masih mendasarkan pada kawasan hutan yang “ditunjuk” yang notabene bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sesuai bunyi Putusan MK yang berlaku, bukan sekadar mengikuti pertimbangan hukum saja.

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers).

Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter.

“Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan,” kata Sadino mengingatkan.

Menurut dia, seharusnya skema penyelesaian kebun sawit mengikuti pola self-reporting dan jika diperlukan pendalaman bisa dilakukan seperti peradilan semu yang membuka ruang untuk saling ber-argumen, klarifikasi dan verifikasi terkait SK DATIN dengan data pelaku usaha, sehingga dapat saling menjelaskan. Tidak seperti sekarang ini semuanya diserahkan ke Timdu (Tim Terpadu) dan subyek hukum tidak dilibatkan dalam Timdu.

“Timdu dasar kerjanya SK KLHK tidak bersifat obyektif dalam melihat hukum yang berlaku di luar hukum-hukum kehutanan. Hukum kehutanan sendiri tidak dipahami apalagi hukum di luar bidang kehutanan pasti akan diabaikan dan hasilnya potensi tidak diterima oleh pelaku perkebunan,” paparnya.

Sadino menegaskan, KLHK wajib menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011 yang telah mengubah norma Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

Hak atas tanah (HAT) menurut ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha, dan hak pakai. Dalam penyelesaian kebun sawit dikembalikan kepada Pasal 110A yang mensyaratkan izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan dan tentunya tidak termasuk yang sudah mempunyai hak atas tanah karena HAT tunduk pada UUPA dan bukan ranah KLHK.

“Jika SATLAKWALDA-UUCK dalam penerapannya menyimpang dari Pasal 110A dan lebih mengutamakan ke Skema PP 24/2021 maka hasilnya akan tidak optimal dan malah menimbulkan banyak sengketa hukum. Dan kemungkinan akan dilakukan uji subtansi Pasal 110A di MK sangat terbuka untuk dikabulkan. Begitu juga Uji Materi PP 24/2021 ke MA karena PP 24/2021 dan Permen LHK 7/2021, dan produk SATLAKWALDA-UUCK dapat menjadi obyek sengketa TUN dan sengketa keperdataan,” tegas Sadino.

Sejatinya, lanjut Sadino, putusan hukum terkait hak atas tanah (HGU) dengan klaim Kawasan hutan sudah ada, diantaranya:

  1. Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011, Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”
  2. Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 yang telah meminta pengujian terkait Hak Atas Tanah (HGU) asas pacta sunt servanda yang berlaku universal. Prinsip ini bahkan tetap berlaku dan dihormati meskipun terjadi “perubahan keadaan yang mendasar” (rebus sic stantibus atau fundamental change of circumtances)
  3. Uji Materi HGU bukan kawasan hutan Putusan MA Nomor 03/HUM/2013 (30 Juli 2013) menyatakan HGU bukan Kawasan Hutan.
  4. PUTUSAN Nomor 32/Pdt.G/2022/PN.Stb. dinyatakan : bahwa HGU Bukan Kawasan Hutan.
  5. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 62/Pid.Sus-TPK/2022/PN.JKT.Pst tanggal 23 Februari 2023:

- PT. Kencana Amal Tani dan PT Banyu Bening Utama yang keduanya telah memiliki HGU yang seharusnya tidak menjadi obyek Pemeriksaan
- PT. KAT yang telah mendapatkan Hak yang Resmi dari Negara berupa HGU, sehingga hasil usahanya adalah legal sepanjang HGU tersebut tidak pernah dicabut oleh lembaga yang berwenang;
- Majelis menilai bahwa selama HGU belum dicabut oleh lembaga/Instansi yang berwenang Majelis menilai HGU tersebut sah adanya dan Pemegang Hak mempunyai hak untuk berusaha diatas tanah tersebut.

“Berbagai putusan tersebut bisa menjadi rujukan dalam membuat kebijakan,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI